The Maccabees dan Marks to Prove It, Bukti Tambah Dewasa?

CNN Indonesia
Jumat, 11 Sep 2015 13:37 WIB
Review album keempat The Maccabees, band indie asal Inggris. Album Marks to Prove It sempat memuncaki tangga lagu di Inggris.
Album keempat The Maccabees. (Dok. The Maccabees)
Jakarta, CNN Indonesia -- Nama The Maccabees mungkin tidak sepopuler band-band asal Inggris lainnya, seperti Arctic Monkeys ataupun Foals. Namun, mereka bukanlah pemain baru di industri musik negeri Ratu Elizabeth tersebut.

Merilis album pertama mereka, Colour It In, pada tahun 2007, band asal London Selatan ini sempat diprediksi akan bernasib sama seperti band-band indie lainnya di angkatan mereka: tenggelam seiring waktu. Namun, lihatlah di mana mereka sekarang. Album keempat mereka, Marks to Prove It, sempat memuncaki tangga lagu negara asal mereka setelah dilepas ke pasaran pada 31 Juli 2015 lalu.

Sebelum album keempat ini, album ketiga mereka yang diberi judul Given to the Wild berhasil menjadi salah satu nominasi dari ajang musik bergengsi Britania Raya, Mercury Prize, pada 2012 lalu. Sedangkan album ketiga mereka yang dirilis pada tahun 2009, Wall of Arms, turut menghasilkan beberapa hits yang sampai sekarang masih menjadi favorit penggemar-penggemar setia mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Album teranyar band yang digawangi oleh Orlando Weeks (vokal), Felix dan Hugo White (gitar), Rupert Jarvis (bass), serta Sam Doyle (drum) ini bisa dibilang merupakan ‘kenang-kenangan’ mereka terhadap area Elephant and Castle di kota London, di mana studio pribadi mereka berada. Beberapa lagu seperti “Marks to Prove It” dan “Slow Sun” menceritakan kisah sehari-hari yang terjadi, mungkin tak hanya di area itu, dan seringkali luput dari perhatian banyak orang. Kembali ke Marks to Prove It, album ini dibuka dengan title-track “Marks to Prove It” yang energetik. Kejeniusan bermusik mereka dapat dengan mudah dibuktikan di lagu ini: perubahan tempo yang drastis namun tetap rapi, permainan bass Rupert Jarvis yang sangat pro, dan gebukan drum tanpa lelah Sam Doyle.

Track kedua, “Kamakura”, yang judulnya diambil dari salah satu kota dengan nama yang sama di Jepang, dimulai dengan paduan drum dan bass yang bisa dikatakan cukup ‘aman’ untuk telinga, namun berubah di bagian chorus. Selanjutnya, “Ribbon Road” menunjukkan keberanian The Maccabees untuk bereksperimen dalam bermusik.

Selain itu, lagu ini juga ‘sangat The Maccabees’: lirik Orlando Weeks akan membuat otak berpikir keras sambil menikmati beat lagu yang begitu unik. Track keempat “Spit It Out”, menurut The Maccabees sendiri melalui Instagram resmi mereka, merupakan track yang “menyatukan mereka dan memberi konteks dalam album ini”.

Cukup mengecewakan, karena sebenarnya di album sebelumnya mereka sudah punya lagu yang cukup mirip, yaitu “Forever I’ve Known”. Kedua lagu sama-sama dibuka dengan iringan melodi dari gitar dan piano, dan Weeks yang seolah membisikkan liriknya langsung secara intim kepada pendengar; kemudian tempo semakin cepat sampai akhir lagu. Kemudian, side one ditutup dengan track berjudul “Silence”. Di balada patah hati ini, gitaris Hugo White, yang merupakan adik dari gitaris lainnya Felix White, mengambil alih tugas Weeks sebagai vokalis utama. Hasilnya? No one can sing this better than Hugo, apparently.

Side two dibuka dengan balada patah hati lainnya, “River Song”. Lagu yang terinspirasi dari pengalaman Orlando Weeks menyaksikan “people having a row” ini juga diisi lirik-lirik bijak khas Weeks. Lalu ada “Slow Sun” yang merupakan salah satu track terbaik di album ini. Lagu ini, lagi-lagi terinspirasi oleh Weeks dan Sam Doyle yang melakukan perjalanan melalui kereta di rush hour pagi hari berbarengan dengan para pencari nafkah. Track ini menunjukkan sisi jenius Maccabees dalam mengubah hal-hal mendetil nan sepele (yang seringkali luput dari mata awam) menjadi ‘emas’.

Single kedua dari album ini, “Something Like Happiness” sedikit banyak merupakan sebuah lagu coming-of-age, ketika seseorang bisa ikut merasakan kebahagiaan yang dialami orang lain. Sounds cliché? No, not at all. Kemudian, “WW1 Portraits” ditulis setelah Weeks menghadiri pameran foto Perang Dunia I dan ia berpikir, “Oke, aku akan membuat propagandaku sendiri.”

Lalu ada “Pioneering System”, salah satu track terbaik lainnya. Track dengan durasi terpendek dalam album ini (2:31) merupakan track coming-of-age lainnya yang ada di album ini. Dan sebagai track terakhir, The Maccabees menyajikan “Dawn Chorus”. Seperti hendak mempertegas anggapan “save the best for the last”, Orlando Weeks berulang-ulang menyanyikan “break it up to make it better” untuk menutup album luar biasa ini.

Dari awal sampai akhir, pendengar akan diajak melakukan perjalanan bersama The Maccabees. Begitu banyak emosi di album ini. Dan yang terpenting adalah, semua emosi ini memang nyata dan tidak dilebih-lebihkan, karena memang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari.

Album ini sekaligus menegaskan bahwa The Maccabees, baik secara band maupun pribadi personel-personelnya, telah menginjak fase baru dalam hidup mereka: fase kedewasaan. Fase yang dimulai di album ketiga Given to the Wild ini merupakan fase di mana The Maccabees sudah ‘selesai’ dengan bermain-main dengan sedang berusaha untuk settle down.
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER