Cerita Mahasiswa yang Terjun Jadi Pendidik

CNN Indonesia
Rabu, 10 Mei 2017 13:48 WIB
Mahasiswa-mahasiswa ini memberikan waktunya untuk ikut mencerdaskan anak-anak di lingkungan kampus. Banyak yang bertahan, banyak juga yang tidak.
Ilustrasi kegiatan mengajar. (Foto: Dok. Indonesia Mengajar)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mimpi adalah kunci, untuk kita menaklukan dunia. Petikan lirik lagu laskar pelangi dari Nidji mengingatkan soal betapa pentingnya punya mimpi. Bagi anak-anak apalagi.

Katanya, mimpi adalah salah-satu kunci untuk menaklukkan dunia. Tapi bagaimana jika bagi anak-anak tertentu, mimpi justru hanya mitos belaka. Angan, asa, cita-cita atau apalah namanya hanya sebatas kata-kata yang bahkan tak pernah terbersit secuil pun dalam benak mereka. Itulah yang terjadi pada siswa-siswi Jatinangor.

Lahir dan tumbuh di tanah di mana lembaga pendidikan berjejer rapi sepanjang jalannya tidak lantas membuat pendidikan mereka terjamin hingga bekerja. Ekonomi tetap saja menjadi penghalang yang sulit mereka singkirkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pagi itu, SD Kananga mulai ricuh dengan suara teriakan siswa. Anak-anak berlarian menghabiskan waktu bermain bersama sebelum bel tanda masuk berbunyi. Tentu bukan bel yang mewah, hanya teriakan guru di sepanjang selasar sebagai tanda jam pertama dimulai.

Begitulah keadaannya. Bangku guru hanya berbahan plastik yang bahkan sudah gugus sana-sini, tak ada fasilitas yang dapat dianggap memadai. Dari kondisi itulah, muncul hati-hati yang empati, juga aksi yang berarti. Mahasiswa datang ramai-ramai untuk berbagi. Membantu mengajari anak-anak cara untuk bermimpi

Anggi Mayangsari, begitu menggebu-gebu kalau sudah bicara soal mimpi anak didiknya. Baginya, melihat anak-anak berani bercita-cita tinggi saja sudah lebih dari cukup. “Dari awal, kami diutus ke kelas bukan untuk mencerdaskan anak-anak, melainkan memantik mimpi-mimpi mereka, membuat setidaknya ada keberanian dalam diri anak-anak untuk memiliki cita-cita tinggi,” katanya.

“Selamat ulang tahun kami ucapkan! Selamat panjang umur, kita kan doakan..” Memori masa lalu berkelebatan di kepala Anggi. Dia kemudian menirukan gaya anak-anak SD yang memberi kejutan kepada salah-satu teman pengajarnya. “Kita sama sekali gak nyangka mereka inget ulang tahun kita dan sempet nyiapin kejutan pula, padahal, kasarnya kan kita ini cuma orang asing,” tambahnya. Matanya berbinar dengan senyum haru yang menguar.

Ditemani aroma donat, baru-baru ini, Anggi Mayangsari, mahasiswi Unpad, mulai bercerita soal bagaimana kronologi dirinya menjadi guru bayangan di salah-satu SD di Jatinangor. Dua tahun lalu, lewat selebaran dan informasi dunia maya, Line tepatnya, Anggi menemukan wadah sempurna untuk passion yang diam-diam tumbuh berkembang di sela kesibukannya sebagai mahasiswa. Mengajar dan memapah anak-anak agar berani punya mimpi.

Masih lekat di ingatannya, saat pertama kali dia mengajar di kelas. Segaduh apa, selengket apa badannya. Awalnya, dia cukup kaget dengan sikap anak-anak yang menurutnya luar biasa nakal. Memekakkan telinganya, menghabiskan suaranya, dan soal keringat jangan tanya. Semua pengajar banjir peluh sambil tetap berusaha menenangkan gaduh. “Kayanya gue dulu gak sebandel ini deh,” Anggi protes.

Mahasiswi Psikologi angkatan 2014 ini tergabung dalam komunitas Jatinangor Education Care demi menunaikan panggilan nuraninya mengajari anak-anak. Meski hanya fokus pada satu sekolah saja, Anggi mengaku betah tinggal di lingkaran itu, karena kontinuitas merupakan target utamanya. “Emang sih manfaatnya jadi gak luas, tapi setidaknya dengan fokus dan kontinuitas, perubahan ke arah yang lebih baik kemungkinannya lebih besar,” katanya yakin.

Ditanya soal kepedulian mahasiswa mengenai pendidikan anak-anak Jatinangor, Anggi memakai diksi berguguran dalam menganalogikan. Pada mula sayembara komunitasnya disebar, baik di dunia nyata pun maya, sukarelawan datang berbondong-bondong.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu mereka berguguran ibarat daun musim. Anggi akhirnya mengambil kesimpulan sepihak bahwa tujuan yang mereka kejar bukan kebermanfaatan jangka panjang melainkan hanya memuaskan hasrat ingin tahu semata. “Pada awalnya antusiasme cukup tinggi, namun akhirnya mereka datang dan pergi sesuka hati. Kebanyakan, mereka hanya penasaran, bukan niat berkomitmen sampai tuntas” kata Anggi, sambil sesekali menyeruput kecil minumannya.

Ada total 46 pengajar di JEC, komunitas di mana Anggi menjabat menjadi ketua. Namun, banyaknya SDM tidak menjamin kegiatan pengabdian lancar saja.

Ada seleksi alam, yang tumbang dan bergguguran menjadi pemandangan tiap harinya, “Karena ngajar itu gak semudah kelihatannya, kebanyakan cuma suka, tapi belum rela menceburkan diri sepenuhnya,” ujar Anggi.

Apalagi, seperti komunitas lain, tidak ada hal yang dapat mengikat mahasiswa untuk tetap tinggal sebagai guru tak bergaji. Tak ada hukuman maupun imbalan. “Hanya beban sosial dan kedekatan dengan anak-anak yang bisa mengikat mereka. Namanya juga sukarelawan, ya kalau udah gak sukarela, siapa yang bisa nahan,” kata Anggi kemudian.

Berbeda dengan apa yang dijabarkan Anggi soal mental mahasiswa pengajar, Annisa Salsabilla, Psikologi 2015 Fapsi Unpad, justru mengaku antusiasmenya belum luruh sampai saat ini. “Aku punya concern di bidang pendidikan sih, karena aku lihat pendidikan di Indonesia masih banyak PR-nya.”

Salah-satu pengajar Qur’an di JEC itu sama sekali tidak terbebani dengan adanya agenda lain selain ngampus, “justru mengajar anak-anak jadi jalan aku buat rehat dari rutinitas kuliah, tugas, juga organisasi,” ucapnya. Namun, tantangan memang selalu ada, Billa, begitu dia akrab dipanggil, juga terkadang sampai pada batasnya saat anak-anak begitu sulit dikendalikan, dan tidak kunjung mengerti apa yang dia ajarkan.

Berdasarkan pengetahuan Anggi Mayangsari, komunitas mahasiswa berbasis pendidikan di Jatinangor cukup banyak jumlahnya, “Yang saya tahu hampir ada 30 komunitas sejenis JEC. Ada Sekolah Arbo, Taman Ilmu, Pelukis Asa dan masih banyak lagi. Menurut saya kalau per komunitas kinerjanya optimal, Jatinangor pasti jadi daerah melek ilmu,” tukasnya. Apalagi, Anggi menambahkan bahwa di masing-masing fakultas, di sektor pendidikan, ada Program Kreativitas Mahasiswa-nya tersendiri.

Sebagai ketua sebuah lembaga non profit, perempuan ini juga mengaku sering mengadakan diskusi dengan komunitas pendidikan lain, bonding secara informal, dan bahu membahu mengadakan seminar-seminar ilmu. “Saling bantu lah, kan sama-sama gak punya duit,” Anggi tertawa di ujung kalimatnya.

Bagi mahasiswa sendiri, tantangan terbesar adalah pendekatan pada guru dan orang tua murid. “Guru merasa metode mereka ideal, padahal masih primitif, pegang tongkat pemukul, dan gak mau dibenarkan. Ditambah orang tua yang menyerah menyekolahkan anak hanya karena biaya.”

Anggi mengaku selalu dibuat mati kutu ketika orangtua murid membalikkan pertanyaan seperti “Kalau gak ada biaya, emang kamu bisa bantu apa? Kalau gak ada yang bantu ibu bapaknya kerja, kamu bisa gantiin dia, bantuin saya?”

Deg. Seketika hati Anggi dan kawan-kawan ciut. Nyali mengkerut. Anak-anak mahasiswa yang masih piyik dan dibiayai orangtua ini bisa apa memangnya? Pikiran Anggi menerawang jauh, namun belum sampai pada solusi yang diinginkannya.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER