Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika menunjukkan beberapa sertifikat hasil jerihnya mengikuti berbagai kegiatan sosial di lingkungan kampus dan tempat tinggalnya, Abdul Hafidz Kurnia (19) bercerita soal mengapa ia ingin sekali aktif menjadi relawan.
“Senang aja bisa membantu banyak orang, kemudian suasana kerja sama yang dibangun antar relawan sangat seru sehingga semuanya merasa nyaman dan bahagia dalam bekerja,” ujar mahasiswa tingkat dua di Akademi Kimia Analis, Bogor ini.
Pengakuan sosial bukanlah prioritas utamanya dalam menyelesaikan setiap proyek sosial, apalagi sekadar sertifikat. Sambil merapikan kembali sertifikatnya ke dalam
folder map ia mengatakan bahwa pengalaman dan pengabdianlah yang ia incar. Ia merasa bahwa tenaga dan pikirannya harus dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak, khususnya di daerah tempatnya tinggal. “Sertifikat hanya buat kenang-kenangan aja,” celetuk Hafidz.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Relawan sosial berkaitan erat dengan perilaku prososial. Perilaku prososial menurut Eisenberg ialah perilaku sukarela yang dilakukan oleh individu untuk memberikan keuntungan bagi orang lain. Perilaku ini memiliki empat aspek dasar yaitu berbagi, menolong, memperhatikan, dan rasa empati terhadap orang lain dan kebutuhan orang lain.
Menurut Kail & Cavanaugh pada 2013, salah satu faktor relawan sosial mempertimbangkan untuk terjun membantu masyarakat adalah lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan teori ekologi. Pada kehidupannya, seseorang akan dipengaruhi oleh apa yang terjadi pada lingkungannya.
Maka untuk memahami alasan individu melakukan sesuatu, bisa dilihat di mana dan bagaimana kondisi tempat individu berada, serta bagaimana interaksi antara individu dengan individu lainnya dibangun dalam bentuk hubungan sosial. Jika hubungan sosial tersebut dibangun dengan baik, maka seseorang tanpa disadari akan membentuk
place attachment. Keterikatan wilayah Riana Sahrani, seorang psikolog dan dosen Psikologi di Universitas Tarumanegara, Jakarta menjelaskan bahwa
place attachment adalah salah satu konsep psikologi lingkungan yang merupakan keterikatan secara afektif antara individu dengan suatu tempat. Terdapat dua dimensi pada
place attachment yakni
place dependence (ketergantungan pada suatu tempat) dan
place identity (identitas pada suatu tempat).
Hasil riset yang ia lakukan bersama Christy, rekannya, menunjukkan bahwa perilaku prososial pada relawan sosial memiliki relevansi terhadap
place identity. Semakin relawan merasa nyaman atau
belonging dengan tempat dan kelompoknya, maka akan berhubungan dengan perilaku menolongnya atau disebut
place identity tadi.
“Namun orang dapat menolong di mana saja, jadi tidak tergantung LSM (Lembaga Sosial Masyarakat)-nya,” jelas Riana.
Subyek penelitian ini adalah para relawan dari berbagai LSM di Jakarta dan juga orang pada umumnya. Jadi siapa saja yang mempunyai kegiatan sosial dan bersedia mengisi kuesioner akan diminta untuk menjadi partisipan penelitian.
“Kami mendapatkan 386 partisipan yang bersedia mengisi semua kuesioner dengan lengkap,” ungkap Riana.
Setelah Riana dan Christy mengolah data, terbukti bahwa
place identity berhubungan dengan perilaku prososial, setelah diuji menggunakan metode korelasi parsial. Namun tidak dengan
place dependence-nya.
Manfaat place attachment Menurut Riana dan Christy,
place attachment memiliki segudang manfaat yang tak hanya dirasakan oleh masyakarat yang terbantu, namun untuk pengembangan diri sendiri. Manfaat itu antara lain adalah dapat mendorong individu untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan suatu tempat, mengembangkan lingkungan, dan bekerja sama dengan orang-orang di lingkungan tersebut.
“Selain itu,
place attachment juga dapat meningkatkan
spiritual well-being, memberikan persepsi yang baik bagi remaja terhadap lingkungannya, dan membantu individu yang sudah pensiun agar dapat bersosialisasi dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik,” tutur Riana.
Christy menambahkan, teori
place attachment ini sangat relevan dan harus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, sehingga orang Indonesia dapat menjadi lebih cinta bangsa dan negaranya sendiri, juga menjadi suatu dorongan untuk masyarakat turut memberikan kontribusi untuk negaranya sendiri. “Dengan demikian, arus globalisasi dan budaya dari negara lain dapat dibendung,” pungkas Christy.
Di Indonesia sendiri, sudah banyak komunitas yang mewadahi siapapun yang ingin terlibat dalam aksi membantu masyarakat. Dari relawan sosial dengan cakupan yang luas hingga yang bergerak di bidang yang lebih spesifik. Seperti Indo Relawan, Clean Action, Sahabat Konferensi Asia Afrika, dan sebagainya. Bahkan kini di beberapa kota di Indonesia telah tersedia komunitas relawan regional maupun lokal yang siap mewadahi keinginan masyarakat untuk mengabdi menjadi relawan sosial.