Memahami Kasih dan Kebaikan Hati di Pedalaman Halmahera

CNN Indonesia
Selasa, 20 Jun 2017 12:37 WIB
Saya tidak habis pikir, kenapa dia dan keluarganya mengasihi saya dan berkorban agar saya dapat makan nasi, ikan, telur?
Ilustrasi (Foto: Condesign/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tidak terasa sudah enam bulan saya sudah di Jakarta sejak mengabdi di pedalaman Pulau Halmahera, Maluku Utara sebagai pengajar. Masa-masa saya di pedalaman Halmahera selama kurang lebih 10 bulan tidak hanya memberikan cerita-cerita lucu dan pengalaman-pengalaman hidup yang tidak ternilai dan terlupakan.

Satu hal yang saya syukuri adalah saya bisa belajar banyak dari masyarakat setempat dan bagaimana menjadi pribadi yang lebih rendah hati dan mengasihi tanpa syarat kepada sesama.

Penempatan saya di Halmahera memang merupakan cara Tuhan untuk kembali menyokolahkan saya melalui ‘sekolah kehidupan’ dengan ‘guru-guru’ yang berasal dari masyarakat setempat dan ‘mata pelajaran’ yang berasal dari semua peristiwa dan kebaikan Tuhan yang saya alami di sana. Tuhan membentuk pribadi saya melalui semua kejadian saya yang hadapi di sana agar lebih dekat dan bersandar kepada kekuatanNya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu pelajaran hidup yang saya pelajari di sana adalah bagaimana mengasihi seseorang dan memberi pertolongan dalam kekurangan. Ada beberapa keluarga di sana yang mengasihi saya di dalam semua keterbatasan yang mereka miliki.

Salah satunya keluarga bapak Tommy Mahakena, ayah dari dua anak bernama Nuh dan Feike yang juga merupakan murid setia saya yang selalu mengikuti les bahasa inggris di malam hari.

Saya ingat dengan jelas tanggal 24 Juli 2016, waktu sudah menunjukan pukul 18.00 dan saya baru sampai ke rumah setelah mengajar. Kondisi fisik yang letih dan lapar membuat saya cepat-cepat menuju dapur untuk melihat jika ada makanan yang sempat dimasak oleh teman-teman atau sisa makanan tadi siang sebelum melanjutkan mengajar les malam nanti ada jam 7.

Ternyata setelah membuka tutup saji, tidak ada satupun makanan yang tersedia. Memang ketika bertugas di pedalaman, hal ini bukanlah hal yang baru untuk saya karena sudah terbiasa meskipun ketika pertama kali datang saya kaget.

Terkadang jika ada di antara kami yang mau masak, maka kami makan. Jika ada sisa makanan siang, maka itulah yang kami makan untuk malam dan jika tidak ada makanan sama sekali, berarti kami langsung masuk kamar masing-masing untuk segera tidur demi membunuh rasa lapar dan letih.

Malam itu saya sudah lapar sekali, untungnya saya masih punya biskuit di kamar yang biasanya saya makan ketika tidak ada makanan sama sekali. Waktu menunjukan pukul 19.00. Setelah mandi dan beristirahat sejenak kembali saya mengajar anak-anak murid saya yang setia dan rajin untuk mengikui les malam. Meskipun kondisi perut masih keroncongan tetapi malam itu saya masih bisa tersenyum karena melihat anak-anak saya yang semangat belajar.

Di tengah jalannya pelajaran, Feike tiba-tiba mendekati saya dan berkata: “Pak guru, nanti selesai les, pak guru ke rumah ya. Papa mau ketemu.”

"Ada urusan apa memangnya Feike?” saya merespons.

Feike hanya terseyum dan berkata: “Sudah pak guru datang saja dulu."

Mendengar itu, ketika waktu sudah menunjukkan pukul 20.00, saya pun langsung mengakhiri kelas yang biasanya selesai jam 21.00. Sebab saya pikir tidak enak kalau saya pergi terlalu malam ke rumah Feike. Setelah selesai mengantar anak-anak semua, saya pun langsung menuju rumah pak Tommy yang ternyata sudah menunggu saya. Tanpa lama-lama beliau langsung menyuruh saya ke dapur yang beralaskan tanah untuk makan bersama.

Saya pun kaget, saya pikir beliau mau mengajak saya ngobrol tetapi ternyata malah diajak makan malam. Tidak sampai di situ, ternyata menu malam itu adalah semur ayam kampung yang dimasak oleh ibu Wiz, istri pak Tommy.

Saya kaget dan bertanya kenapa ayamnya dimasak? (kebanyakan masyarakat di sana memelihara ayam dan babi untuk dijual, uangnya untuk dipakai untuk beli beras dan ikan).

Memang beberapa minggu saya sempat bercanda dengan anaknya, Nuh. Kalau ayamnya nanti saya potong untuk dimakan ramai-ramai. Dan ternyata ayamnya memang dipotong. Pak Tommy pun berkata kepada saya, kalau mumpung saya masih di Halmahera jadi tidak apa-apa makan ayam bersama, karena nanti kalau saya sudah pulang ke Jakarta sudah tidak bisa lagi.

Tidak hanya sampai di situ. Keluarga pak Tommy selalu mengundang saya untuk makan setelah ibadah minggu. Hampir setiap hari minggu setelah ibadah saya selalu dipanggil ke rumahnya untuk makan bersama karena mereka tahu kalau setiap minggu tukang masak di rumah kami tidak kerja. Jadi biasanya tidak ada makan siang bahan makan malam.

Dan yang membuat saya heran setiap kali saya diundang makan ke rumahnya pasti ada nasi dan ikan (nasi dan ikan di pedalaman merupakan makanan yang ‘mahal’ karena tidak setiap hari mereka dapat menikmati makanan tersebut, tergantung pendapatan harian mereka. Terkadang kalau tidak ada uang mereka dapat makan singkong dan pisang rebus berminggu-minggu).

Terkadang setelah keluar ibadah minggu saya biasanya menghindar dari mereka dan dan langsung cepat-cepat pulang karena saya ingin mereka saja yang menikmati berkat Tuhan itu tetapi terkadang pak Tommy selalu mencegat saya sebelum saya pulang dan menarik tangan saya untuk ke dapur untuk makan bersama. Tidak hanya itu, jika mereka sedang membuat nasi kuning atau mendapat buruan babi hutan, saya selalu diundang untuk makan bersama.

Suatu malam, saya dipanggil lagi untuk makan malam bersama lagi tetapi pada hari itu ibu Wiz dengan agak tertunduk meminta maaf kepada saya dan berkata: "Maaf pak Arben, hari ini kita cuman masak nasi putih dan indomie goreng, tidak ada ikan karena uangnya tidak ada".

Dengan tersenyum saya bilang: "Tidak apa-apa bu, saya yang terimakasih banyak masih bisa diajak makan." Malam itu saya ingin sekali meneteskan air mata melihat ketulusan kasih dan kebaikan keluarga ini.

Suatu hari saya karena penasaran mengenai latar belakang dan pekerjaan pak Tommy, maka saya ngobrol dengan dia. Setelah ngobrol dengan dia, hati saya pun terkejut. Pak Tommy hanyalah buruh bangunan serabutan yang pendapatannya hanya Rp75.000 perhari. Itu pun kalau ada yang memakai jasa dia dan jika tidak ada proyek maka dia pun tidak kerja dan hanya bisa berharap dari hasil kebun dan penjualan ayam yang dia pelihara. Terkadang kalau tidak ada proyek bangunan maka dia bisa mengangur sampai berminggu-minggu.

Bayangkan Rp75.000 perhari, dia mempunyai tanggungan dua anak dan satu istri. Harga beras perliter bisa Rp7.500 dan tidak mungkin dia hanya beli seliter. Paling tidak bisa 5-10 liter perminggu. Harga ikan bisa Rp15.000-Rp20.000. Belum ditambah bayaran listrik dan biaya anaknya sekolah. Terkadang dia hanya bisa menghasilkan tidak lebih dari Rp200.000 bahkan mungkin kurang dari itu perminggu. Tetapi setiap minggu dia selalu mengundang saya makan nasi, ikan, bahkan telur di rumah dia.

Saya tidak habis pikir, kenapa dia dan keluarganya mau mengasihi saya seperti keluarganya sendiri dan berkorban agar saya dapat makan nasi, ikan, telur meskipun dia dan keluarganya mungkin belum atau bahkan tidak makan sama sekali. Dia bisa saja menikmati semua berkat jasmani untuk keluarga dia, terlebih ibu Wiz mempunyai 7 saudara yang seharusnya makanan-makanan itu dibagikan kepada mereka.

Kenapa saya yang harus ditolong? Sungguh, mereka memberi, berkorban, dan mengasihi saya melalui kekurangan bahkan sangat kekurangan.

Melalui perbuatan mereka saya dapat melihat hati Bapa surgawi, yang rela berkoban dan penuh kasih. Seperti tertulis di (1 Yohanes 4:8) Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih. Orang yang tidak mengasihi tidak mengenal Allah karena Allah adalah kasih. maka orang yang tiada menaruh kasih itu tiada mengenal Allah; karena Allah itu kasih adanya.

Keluarga pak Tommy, tidak hanya menunjukkan kasih yang luar biasa bagi saya tetapi keluarga ini juga menunjukan bagaimana hidup dengan Iman.

Meskipun pendapatanya yang bisa dikatakan kurang dari cukup tetapi mereka dapat memberkati saya. Saya pernah bertanya kepada pak Tommy, apakah selama hidupnya dia pernah merasa kekurangan? Dengan enteng dia menjawah tidak pernah. Pak Tommy tahu bahwa hidupnya sudah dijamin oleh Tuhan, hanya dengan bermodalkan iman, ia tahu bahwa semua kebutuhan keluarganya sudah dicukupi. Tuhanlah yang menyediakan dan mencukupi (Jehovah Jireh).

Saya sendiri sekarang mengerti apa itu kasih. Kasih itu merupakan sesuatu yang seseorang berikan dan korbankan kepada kita yang berasal dari lubuk hatinya yang paling tulus. Bukan karena kesempurnaan atau kelebihan dia. Orang seperti pak Tommy dan keluarganya adalah orang-orang yang membuat hidup kita tersenyum, berwarna.

Mereka adalah orang-orang yang mempunyai kesungguhan dan ketulusan hati yang luar biasa. Mereka adalah orang-orang yang berani mengorbankan harta benda, bahkan hidupnya dan merangkul kita dan berjalan bersama dari ujung jurang keputusasaan keluar menuju ujung sumbu pengharapan.

Mereka berkorban tanpa memikiran jika dilihat oleh orang lain atau tidak. Mereka berkoban tanpa diminta.

Mereka menyerahkan impian dan juga kesenangannya demi kepentingan orang lain. Saya berdoa setiap hari agar saya dapat mempunyai hati seperti mereka.

Hidup di Jakarta penuh dengan individualitas tetapi kita semua dapat menjadi pribadi dan mempunyai hati seperti keluarga pak Tommy. Hati yang penuh belas kasihan dan rela berkorban akan memberi warna tersendiri dan menjadikan terang di manapun kita berada. Karena jika kita mengasihi dalam kekurangan, kita tahu kita melakukannya itu untuk Tuhan. Tidak mudah untuk dapat mengasihi dalam kekurangan dan keterbatasan tetapi itulah tujuan utama hidup yaitu untuk berkorban.

Terimakasih pak Tommy dan keluarga, keluargamu tidak akan pernah saya lupakan. Kisah pengorbananmu akan saya ceritakan kepada keturunan saya. Terimakasih Tuhan yang sudah membukakan mata saya tentang bagaimana cara mengasihi dalam kekurangan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER