Membasmi Ulat-Ulat Nakal dengan Virus

CNN Indonesia
Selasa, 11 Jul 2017 13:43 WIB
Seorang dosen di Unpad Bandung membuat virus yang dapat membunuh hama ulat pada tanaman sayuran.
Virus pembasmi hama ulat bikinan Mia Miranti, dosen di Universitas Padjadjaran Bandung. (UGC CNN Student/Lia Elita Robani)
Bandung, CNN Indonesia -- Insektisida sintetik dikenal sebagai pembasmi hama tanaman yang banyak digunakan para petani dengan cara disemprot. Namun, virus yang dikenal sebagai penyebab penyakit, ternyata dapat juga digunakan untuk membasmi hama.

Mia Miranti, dosen di jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor Sumedang, telah menyulap virus menjadi makhluk yang bermanfaat. Ia menggunakan virus sebagai pengganti insektisida sintetik untuk melindungi tanaman dari serangan ulat-ulat nakal.

Berangkat dari keinginan untuk meningkatkan kualitas hasil panen sayuran para petani, Mia membuat biopestisida menggunakan virus serangga hama (helicoverpa armigera nuclear polyhedrosis virus) yang dapat digunakan sebagai pengganti insektisida sintetik. Menurutnya, wajar bila selama ini produk pertanian lokal ditolak oleh pasar ekspor. Hal itu dikarenakan kadar insektisida yang terlalu tinggi bersemayam pada tanaman sayuran lokal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Doktor dengan spesialisasi bidang Virologi/Mikrobiologi di Unpad ini memilih virus yang terdapat pada Helicoverpa armigera untuk penelitiannya karena sifatnya spesifik. “Virus ini dipilih karena mempunyai sifat yang spesifik, hanya bergantung pada inangnya,” kata Mia saat ditemui di laboratorium Mikrobiologi Unpad, akhir Mei lalu. Ibarat flu manusia yang hanya menyerang manusia, virus ini hanya menyebabkan kematian pada serangga.

Tidak seperti insektisida sintetik yang disemprot, formula yang ia buat ini diaplikasikan dalam bentuk serbuk kering sehingga metode penggunaannya adalah dengan ditabur. Ia memutuskan untuk mengaplikasikannya dalam bentuk serbuk kering agar tidak rusak oleh sinar matahari. “Kelemahan virus ini adalah terkena sinar matahari, jadi saya membuatnya dengan bahan pelindung. Pengaplikasiannya pada tanaman harus pagi sekalian atau sore sekalian,” ujar dosen yang telah mengajar selama 22 tahun di Biologi Unpad ini.

Tahapan menginfeksi ulat, awalnya ulat dikumpulkan, lalu diberi makan irisan jagung atau kubis yang telah diolesi virus. Ulat yang mati karena terinfeksi virus itu akan berubah jadi mengkerut dan mengeluarkan bau seperti bangkai. Setelah digerus, ulat yang menjadi kadaver larva itu akan menjadi virus berbentuk cairan berwarna kuning.

Setelahnya, Mia mencampur cairan itu dengan serbuk sebagai bahan pembawa agar melekat di tanaman. Serbuk yang digunakan adalah zeolit, gypsum, dan talk. Hasilnya, serbuk akan berwarna kebiru-hijauan bila menggunakan tepung zeolit. Sedangkan bila menggunakan gypsum dan talk, serbuk akan berwarna putih.

Ia telah mencoba mengaplikasikan serbuk virusnya pada kubis, tomat, daun bawang, tembakau, daun kedelai, dan sawi di rumah kaca Unpad di Baleendah dan Lembang. Hasilnya, 60-80 persen tanaman terlindungi, dalam artian kerusakannya kecil. Formulasi virus tersebut ditaburkan ke masing-masing pot, menggunakan bekas botol air mineral yang dilubangi bagian tengah tutupnya.

Ada alasan tersendiri yang membuat Mia memilih menggunakan virus daripada bakteri atau jamur. Alasan itu menurutnya menjadi kelebihan penelitian ini. Kelebihannya yaitu virus hanya mengenai serangga sasaran, menurutnya. “Virus ini tidak seperti bakteri (Bacillus thuringiensis) yang membuat serangga mudah menjadi resisten terhadap bakterinya. Kalau menggunakan jamur (metarhizium), yang berbahaya adalah sporanya karena serangga yang diserang tidak spesifik,” jelas Mia.

Namun, Mia juga mengakui ada kelemahan dari penelitiannya ini. “Kalau kita menggunakan mikroorganisme sebagai biopestisida, daya bunuhnya lambat dibandingkan insektisida sintetik,” ucap wanita berkacamata ini. Jika menggunakan insektisida sintetik, serangga dapat mati dalam hitungan jam. Sedangkan dengan biopestisida, membutuhkan waktu antara tiga sampai empat belas hari.

“Walaupun matinya lambat, tapi seringkali efek perusaknya sudah hilang. Jadi ulatnya hidup tapi tidak mau makan tanaman tersebut. Kalaupun makan, yang dirusaknya tidak sebanyak kalau dia tidak terkena virus,” tambahnya. Adanya efek antisida dapat menghilangkan nafsu makan pada serangga hama sehingga tidak merusak tanaman meski masih hidup.

Mia mengatakan belum ingin memasarkan hasil penelitiannya ke petani. Itu karena ia belum menemukan patokan ukuran yang tepat untuk setiap hektare. Ia pun mengakui, penggunaan serbuk virus dengan cara ditabur ini sebenarnya boros. Maka dari itu, ia masih mencari metode yang tepat untuk aplikasinya supaya tersebar merata ke seluruh tanaman.

Berawal dari bahan penelitian thesis, penelitian ini ia tekuni sejak 1997 hingga kini. “Saya sedang mempertimbangkan metode untuk perkebunan besar. Makanya untuk penelitian tahun ini, rencana saya mau mengaplikasikan di lahan pertanian di Lembang, setidaknya 10x10 meter.” Berdasarkan percobaannya, sepuluh tanaman dapat menghabiskan sepuluh kilo serbuk virus sampai masa panen.

Wanita berambut ikal ini pernah melakukan percobaan di lahan pertanian kakak iparnya, Dewi, di Lembang. Menurut Dewi, berdasarkan pengalamannya, pemakaian serbuk virus tersebut tidak 100 persen membunuh hama. “Mungkin hal tersebut dikarenakan bentuknya serbuk, jadi saat pengaplikasian tidak bisa menempel secara menyeluruh pada tanaman. Hama masih bisa bertahan pada bagian yang tidak terkena,” ujar Dewi.

Meski begitu, reaksi tanaman menunjukkan bisa berkembang dengan baik. Dengan kata lain, serbuk virus tersebut tidak menghambat pertumbuhan tanaman. Tanaman yang dicobakan adalah kubis dengan luas tanah sekitar dua puluh tembak.

Mia juga membuat buku cerita bergambar dengan judul “Hevi Si Virus Serangga” dengan tujuan mengedukasi anak-anak. “Selama ini orang tahunya virus itu menyebabkan penyakit. Tapi virus serangga ternyata bisa menjadi alternatif yang baik yang bisa membantu petani. Jadi, ini sebagai edukasi untuk anak-anak bahwa virus tidak selalu jahat,” tutur Mia yang mengaku senang mendongeng untuk anak-anaknya.

Lulusan magister pertanian ini berharap petani tidak lagi menggunakan insektisida sintetik. Menurutnya, saking ketakutan tanamannya rusak, petani dapat menjadi berlebihan dalam menyemprotkan insektisida sintetik.

“Saat terus-terusan diberi insektisida sintetik, serangga hama akan mengembangkan resistensi. Semakin lama semakin tahan dengan pestisida itu,” kata Mia. Menurutnya, biasanya orang-orang ingin sayuran yang terlihat bagus dan tidak cacat, padahal sayuran yang baik adalah sayuran yang banyak cacatnya karena itu berarti kadar insektisida sintetiknya rendah.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER