Jakarta, CNN Indonesia -- Hingga medio 1990-an, pembangunan ekonomi Orde Baru (Orba) berjalan mulus dan bisa dikatakan cukup berhasil secara statistik. Berbekal Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memuat rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), pemerintahan Soeharto sukses menjaga momentum pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6 persen, mengendalikan inflasi dan rupiah pada level yang rendah, bahkan Indonesia berhasil mencapai swasembada beras.
Penilaian ini murni soal ekonomi, di luar persoalan politik dan pelanggaran Hak Asasi manusia (HAM) yang kerap disangkakan kepada Sang Jenderal Besar.
Siapa sangka, pondasi ekonomi yang terbangun sekitar 30 tahun itu luluh lantah akibat prahara ekonomi. Pada pertengahan 1997, bersumber dari kejatuhan mata uang Thailand, krisis ekonomi merebak ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia kena getahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Episentrum awal krisis moneter kala itu adalah nilai tukar rupiah yang anjlok sangat dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Peristiwa ini memicu lonjakan inflasi, terutama pada harga-harga barang yang berasal dari impor (
imported inflation). Secara umum, kejatuhan kurs kala itu mengganggu hampir semua sendi-sendi perekonomian nasional yang kemudian berubah menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan di berbagai bidang.
(Baca juga: Kisah Yusril tentang Kegelisahan Soeharto Jelang Kejatuhannya)
Dari sisi anggaran, depresiasi rupiah menyebabkan utang luar negeri Indonesia menggelembung. Akibat mengikuti resep Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengambil alih utang valas swasta, utang pemerintah melonjak menjadi US$ 148 miliar atau 104 persen terhadap PDB pada 1999. Dari angka tersebut kurang lebih separuhnya adalah utang sektor swasta, termasuk utang perusahaan publik dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Di sisi lain, otoritas fiskal semakin terhimpit oleh beban subsidi energi yang semakin mencekik. Pemerintah pun dilema, apakah memangkas subsidi melalui kenaikan harga BBM dengan risiko inflasinya semakin tinggi atau membiarkannya dengan konsekuensi ruang fiskal terus menyempit.
Tak hanya menggerogoti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), gejolak nilai tukar juga menggerus kepercayaan investor asing terhadap prospek ekonomi Indonesia. Apabila selama tahun anggaran 1996/1997 aliran modal asing yang masuk ke Tanah Air mencapai US$ 13,48 miliar, maka pada 1997/1998 keadaannya berbalik. Total modal bersih yang keluar akibat krisis kala itu mencapai US$ 11,82 miliar.
(baca juga: Kediaman Cendana setelah 17 Tahun Soeharto Turun)Krisis juga mengakibatkan sektor perbankan nasional ambruk. Industri perbankan sebelumnya tumbuh subur sebagai berkah dari kebijakan Pakto’88 (Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988). Setidaknya 240 nama bank telah berdiri sejak 1988 hingga masa-masa kritis berlangsung. Pada akhirnya perbankan mengalami pukulan berat setelah krisis nilai tukar memicu penarikan rupiah secara besar-besaran (
rush).
Dalam kondisi normal, penyehatan perbankan merupakan tugas dari Bank Indonesia selaku otoritas moneter. Namun karena krisis, selama periode 1998 hingga 1999 kebijakan fiskal yang justru memainkan peranan yang sangat besar untuk merestrukturisasi perbankan. Total biaya yang harus digelontorkan pemerintah untuk itu tak tanggung-tanggung, jumlahnya diperkirakan mencapai kisaran US$ 65 miliar. Ini jelas menambah beban pemerintah di luar beban utang luar negeri.
Upaya penyehatan perbankan kala itu antara lain dengan menutup bank-bank yang sangat tidak sehat, memerintahkan merger atau penjualan beberapa bank, sampai mencabut izin bank-bank yang tidak memiliki harapan hidup.
Sejumlah bank yang dianggap layak berlanjut dibantu dengan mekanisme Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang antara lain menyatakan sebanyak 16 bank dilikuidasi, empat bank diambil alih (
take over), 10 bank dibekukan operasinya,dan 39 bank berstatus Bank Beku Kegiatan Usaha Tertentu (BBKU).
Tak hanya itu, pemerintah juga melakukan penguatan modal (rekapitalisasi) terhadap 10 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan sembilan bank umum. Di sisi lain, pemerintah menyediakan program penjaminan atas simpanan masyarakat di bank sekaligus menjamin pula seluruh kewajiban bank.
Meledaknya krisis moneter dan hancurnya kestabilan ekonomi makro di Tanah Air segera berdampak pada krisis sosial dan politik pada waktu yang hampir bersamaan. Kombinasi krisis tersebut berujung pada lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan karena desakan rakyat yang tidak puas terhadap pemerintah. 21 Mei 1998, tepatnya pukul 09.00 WIB, Sang Jenderal Besar akhirnya menyerah.
(gen)