Gugat Kebijakan Kemasan Rokok Australia Bisa jadi Bumerang RI

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Selasa, 23 Jun 2015 07:11 WIB
Gugatan tersebut dinilai sia-sia kalau kemudian berbagai kebijakan di dalam negeri justru tidak memberi dukungan terhadap industri tembakau.
Berbagai merek rokok yang paling laku terjual di Indonesia menurut survei YLKI. (CNN Indonesia/Yohannie Lingasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Gugatan yang diajukan pemerintah ke World Trade Organization (WTO) atas kebijakan Australia yang memberlakukan kewajiban kemasan polos produk rokok dinilai akan menjadi bumerang bagi Indonesia. Terlebih apabila pemerintah jadi menerapkan Framework Convention on Tobbaco Control (FCTC).

Pengamat Ekonomi Politik Salamudin Daeng menilai jika pemerintah kemudian menerapkan ratifikasi FCTC secara menyeluruh, maka kebijakan tersebut juga berpotensi digugat negara lain ke WTO dengan argumentasi menghambat investasi. Tentu saja selain FCTC, menurut Salamudin aturan-aturan seperti Rancangan Peraturan Pemerintan tentang Tembakau harus benar-benar lentur tidak kaku agar tidak ada gugatan dari negara lain.

"Pemerintah belum meratifikasi FCTC dan belum menerapkan aturan itu menyeluruh. Sebenarnya itu juga berpotens digugat negara lain ke WTO karena dipandang sebagai bentuk menghambat investasi," ujar Salamudin, Selasa (23/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan melancarkan gugatan terhadap kebijakan Australia ke WTO, Salamudin menilai pemerintah saat ini tengah membangun kesan melindungi Industri Hasil Tembakau (IHT) di kancah perdagangan internasional. Namun hal itu disebutnya menjadi ironi ketika melihat nasib IHT di dalam negeri yang terus digencet dengan aneka peraturan, cukai dan pajak yang tinggi.

"Gugatan itu bisa kehilangan faedahnya kalau kemudian berbagai kebijakan di dalam negeri justru tidak memberi dukungan terhadap industri tembakau," tegasnya. 

Menurut Salamudin akan lebih baik bagi pemerintah memberikan dukungan bagi industri tersebut dengan memperbaiki regulasi yang berkaitan dengan IHT, memperbaiki struktur industri agar bisa bersaing di pasar internasional, menyediakan subsidi untuk petani tembakau agar harga bisa bersaing dengan tembakau impor asal Tiongkok.

“Bahkan kalau perlu asuransi pertanian untuk melindungi petani dari gagal panen atau bencana,” imbuhnya.

Di level kebijakan perdagangan dan keuangan, perlu diterapkan lagi bea masuk untuk melindungi produk tembakau dalam negeri. Juga tidak kalah penting, suku bunga industri ditekan.

"Kalau kemudian biaya tenaga kerja 25 persen, kemudian biaya gabungan pajak cukai mencapai 25 persen maka industri tidak efisien. Ujungnya, pemerintah juga yang rugi karena harus menanggung beban pengangguran akibat rontoknya IHT,” ujarnya.

Sebelumnya Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi menegaskan kewajiban menggunakan kemasan polos produk rokok telah menciderai hak anggota WTO di bawah perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).

Dalam pertemuan pertama antara pihak penggugat, tergugat, dan panelis dalam kasus tersebut di kantor WTO di Jenewa, Swiss, pada 1 Juni 2015 lalu Bachrul menyebut konsumen memiliki hak untuk mengetahui produk yang akan dikonsumsi. Sementara produsen juga berhak menggunakan merek dagangnya di kemasan rokok.

Ia menilai kebijakan kemasan polos produk rokok Australia bertujuan untuk mengurangi konsumsi rokok dan pembatasan akses rokok bagi anak muda serta perokok pemula. Tujuan dari kebijakan Australia tersebut juga sejalan dengan kebijakan yang dilakukan banyak negara termasuk Indonesia.

“Namun kebijakan Australia dalam mencapai tujuan dari kebijakannya tersebut melalui penerapan kemasan polos produk rokok dianggap tidak melindungi hak kekayaan intelektual (HKI) atas merek dagang produk rokok yang dimiliki produsen rokok,” katanya

Hal ini dapat merugikan para produsen tersebut dan akan memberi pengaruh atas kompetisi dagang produk rokok yang dijual di Australia dikarenakan hilangnya daya pembeda antara produk rokok yang satu dengan produk rokok lainnya.

Bachrul mencatat industri rokok menyumbang 1,66 persen total Gross Domestic Product (GDP) Indonesia dan devisa negara melalui ekspor ke dunia yang nilainya pada 2013 mencapai US$ 700 juta. Selain itu, industri rokok juga menjadi sumber penghidupan bagi 6,1 juta orang yang bekerja di industri rokok secara langsung dan tidak langsung, termasuk 1,8 juta petani tembakau dan cengkeh. (gen)
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER