Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) diminta untuk tidak gegabah mendukung ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC).
Margarito Kamis, Pengamat Hukum Tata Negara menilai dukungan Kemenkeu yang tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-900 yang diterbitkan pada 10 Desember 2013 dan ditujukan kepada Kementerian Kesehatan itu sama saja melampaui sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sampai saat ini belum memberi dukungan.
Secara ketatanegaraan, Margarito menjelaskan, Kemenkeu tidak bisa mengambil tindakan hukum apapun dalam soal FCTC ini. Termasuk pada pembahasan ratifikasi selama belum mendapat instruksi Presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila Kemenkeu tidak mencabut surat tersebut, Margarito mengatakan Presiden harus menegur dan memberi peringatan.
“Karena sebagai pembantu Presiden, Menkeu tidak boleh bertindak melampaui kewenangan presiden,” tandas Margarito di Jakarta, Kamis (6/8).
Ia mengingatkan, pemerintah seharusnya tidak gegabah dalam meratifikasi FCTC dan harus dilakukan hati-hati. Ia menegaskan, ratifikasi sudah pasti dipenuhi kepentingan asing dan merugikan industri dan petani tembakau dalam negeri.
"Pemerintah sebelum memutuskan meneken ratifikasi harus benar-benar menghitung aspek-aspek yang melemahkan, merugikan petani dan pengusaha nasional," tegasnya.
Ia berpendapat jika masing-masing pejabat pemerintah berbeda pendapat soal FCTC, masyarakat bisa menilai pemerintah tidak solid alias tidak kompak.
Budayawan Mohammad Sobary menuding dukungan Kemenkeu itu tidak lepas dari intervensi pihak asing. Sobary prihatin dengan dukungan tersebut karena sejatinya membahayakan petani tembakau.
“Mustahil kalau tidak dapat upah. Mereka tidak punya semangat membesarkan bangsanya sendiri," tegas Sobary.
Menurut Sobary, pihak asing saat ini berkepentingan untuk mencaplok bisnis kretek dalam negeri yang besar. Ia mengingatkan, FCTC dan segenap aturan mengenai tembakau dan produk-produk olahannya, disusun berdasarkan kepentingan asing. Sehingga kalau didalami, FCTC tak lebih sebagai praktik dagang tidak sehat ketimbang mengedepankan isu kesehatan.
“Sejauh menyangkut kepentingan asing, pemerintah, baik di era SBY dan pemerintah sekarang, siap membungkuk. Merasa didukung Amerika. Kepada bangsa sendiri dan petani tembakau saja pemerintah tidak sikap melindungi," tandas Sobary.
Ia menjelaskan, ketika argumen demi kesehatan masyarakat itu tidak manjur, digantilah argumen ekonomi bahwa merokok itu pemborosan. Argumen ekonomi ini pun tak begitu berpengaruh. Tetapi pelobi asing dibantu aparat pemerintah dari pusat hingga ke daerah-daerah, kaum profesional, para dokter, kaum aktivis, dan seniman dengan penuh semangat menelan argumentasi ini tanpa mau berpikir kritis atas argumentasi tersebut.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara menyatakan dukungan instansinya kepada Kementerian Kesehatan untuk meratifikasi FCTC melalui Surat Menteri Keuangan Nomor S-900 yang diterbitkan pada 10 Desember 2013 masih berlaku.
“Dukungan itu belum berubah sampai sekarang,” kata Suahasil di Kampus Universitas Indonesia, Kamis (6/8) kemarin.
(gen)