Jakarta, CNN Indonesia -- Nusatara Energy Resources (NER) menghadapi sejumlah kendala untuk membangun sejumlah proyek di Kampe Industrial Estate Banyuwangi (KIEB), Jawa Timur. Selain lamanya proses perizinan dan studi Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), proyek tersebut juga terhambat masalah sengketa lahan.
Presiden Direktur NER, Junaidi Elvis menjelaskan saling klaim antara masyarakat sekitar dengan beberapa perusahaan yang memegang hak guna usaha (HGU) menjadi latar belakang sengketa lahan di KIEB.
"Dulu itu kan lahan masyarakat, Tapi karena sekarang jadi lahan industri dan energi, maka seharusnya status sudah berubah. Tapi sampai sekarang masih belum juga beres," kata Junaidi di Jakarta, Kamis (27/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Junaidi menuturkan, izin pengelolaan kawasan berikut HGU KIEB saat ini digengam oleh perusahaan konsorsium, yang terdiri dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III, dan PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER). Hal tersebut diperkuat dengan terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi.
Kendati demikian, terang Junaidi, dalam proses pengalihan status lahan beberapa anggota masyarakat merasa keberatan karena lahannya masuk ke dalam kawasan tersebut industri.
Alhasil, lanjutnya, NER belum dapat melakukan studi karena perusahaan pengelola kawasan masih berkutat menyelesaikan sengketa ini.
"Kalau Perda Nomor 8 sudah terbit seharusnya pakai (acuan) itu. Jadi seharusnya yang punya itu konsorsium PT SIER, PTPN XII, dan Pelindo III. Tapi saya belum tahu perkembangannya," kata Junaidi.
Sebagai informasi, NER melalui anak usahanya, PT Nusantara Energy Plant Indonesia (NEPI), akan membangun kilang pengolahan kondensat menjadi avtur dan bahan bakar minyak (BBM) di kawasan KIEB. Rencananya, pasokan kondensat ke kilang dipasok dari Vitol Group dengan perjanjian selama 30 tahun.
Tak hanya itu, perusahaan yang memiliki kantor pusat di Singapura ini juga akan membangun fasilitas LNG floating storage (FSRU) berkapasitas 100 ribu MT (metric ton) dan pembangkit listrik berkapasitas 1.000 megawatt (MW).
Untuk merealisasikan rencana tersebut, Junaidi mengatakan pihaknya akan menggelontorkan investasi sebesar US$ 1,6 milliar yang dananya diperoleh dari kas internal. Adapun prosesi peletakan batu pertamanya (groundbreaking) direncanakan pada tahun depan dan ditargetkan proyek selesai pada medio 2019.
"Kalau tidak jalan, saya malu. Mudah-mudahan izin semakin cepat, semakin baik dan targetnya bisa beroperasi 2018 atau 2019," tutur Junaidi.
(ags/gen)