Jakarta, CNN Indonesia -- Jalan berkelok-kelok, sempit dan mendebarkan. Kadang-kadang melihat tebing batu di satu sisi dan jurang di sisi lain. Begitulah perjalanan dari Kabupaten Karo ke Kabupaten Pakpak Bharat di Provinsi Sumatera Utara.
Perjalanan terhenti di sebuah perladangan yang baru selesai disiangi, Rabu (26/8) lalu. Ladang di Desa Bandar Baru, Kecamatan STTU Jehe, itu dikelilingi hutan lindung. Kontur lahan dibiarkan seperti aslinya, miring mengikuti lereng bukit.
Menurut Jidin Berutu, sang pemilik lahan, dia baru saja memanen jagung dengan pendapatan yang lumayan. Dari total lahan seluas 4 ribumeter persegi, sebagian ditanami jagung, di samping pohon duku, durian, dan tanaman keras lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jidin memanen dan menjual 2,4 ton jagung yang sudah dikeringkan. Total pendapatan dari jagung yang umurnya 4 bulan itu dia meraup Rp 5 juta.
“Dulu paling setengahnya,” kata Jidin. Berkat program Sustainable Agriculture Landscape Partnership (SALP), Jidin dan para petani di daerah itu mendapat bantuan bibit jagung yang unggul.
Program SALP adalah proyek ‘keroyokan’ lembaga swadaya masyarakat Conservation International (CI) dan Monsanto Indonesia, produsen benih-benih unggul seperti jagung, kapas, dan sayur-mayur.
Digelar selama hampir dua tahun, CI dan Monsanto mengklaim program itu telah membantu meningkatkan produktivitas petani, khususnya jagung, menjadi 30-100 persen.
"jagung dari biasanya 3-4 ton per bulan, sekarang jadi 7-8 ton per bulan," kata Fitri Hasibuan, project manager SALP di Pakpak Bharat.
Masalahnya, rantai distribusi jagung masih panjang. Banyak petani seperti Jidin yang terpaksa menjual hasil panennya kepada tengkulak. Alasannya, mereka tak punya akses langsung ke pasar atau industri.
Jagung adalah komoditas yang tingkat konsumsinya di Indonesia cukup tinggi. Berdasarkan data yang dipaparkan Mauricio Amore, CEO Monsanto Indonesia, dibutuhkan sekitar 15-20 juta metrik ton jagung setiap tahun di Indonesia.
Sebagian besar konsumsi jagung itu untuk produsen pakan ternak. Untuk menutupi kebutuhan domestik, sebagian kebutuhan jagung ditutupi dari impor, yang tahun lalu datanya disebutkan mencapai 3,6 juta metrik ton.
Mauricio mengatakan, Indonesia sebetulnya berpotensi menyetop impor asal ada dukungan penuh kepada para petani dan tidak membiarkan petani terjepit oleh rantai distribusi yang panjang.
"Indonesia bisa jadi eksportir karena demand-nya tinggi, di Asia Tenggara sedang defisit jagung sebab populasi kelas menengah meningkat, level protein yang dikonsumsi juga naik," kata Mauricio kepada CNN Indonesia. "Jagung adalah bahan utama pakan ternak, hewan yang mensupport kebutuhan akan protein."
Mauricio mengatakan, produksi jagung di Pakpak Bharat bisa naik sampai 100 persen salah satunya lantaran bibit yang digunakan petani adalah bibit hibrida yang unggul dan tahan hama. Lantaran unggul dan tahan hama itu, panen pun menjadi maksimal.
Terkait rantai distribusi yang tak menguntungkan bagi petani, Mauricio mengatakan solusinya adalah petani bersatu sehingga memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan pengepul atau tengkulak.
Pada saat panen, dia menyarankan petani untuk tak menjual semua stok namun menyimpan di lumbung. Biasanya harga turun saat panen. "Stok dikeluarkan lagi setelah harga kembali normal," ujar dia.
(gen)