Roma, CNN Indonesia -- Organisasi Pangan dan Pertanian, FAO, menyebutkan harga pangan dunia di bulan Januari mencapai titik terendah dalam tujuh tahun terakhir.
FAO melaporkan penurunan harga pangan ini disebabkan oleh penurunan harga komoditas pertanian terutama gula.
Data ini menunjukkan bahwa harga pangan turun dalam empat tahun berturut-turut, dan tetap akan melemah akibat pasok produk pertanian yang berlimpah, perlambatan ekonomi global dan penguatan nilai dolar Amerika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indeks harga pangan FAO, yang diukur setiap bulan dari harga sereal, biji-bijian, produk peternakan, daging dan gula, pada Januari mencapai 150,4 poin. Angka ini turun dari 153,4 poin pada Desember lalu.
Penurunan sebesar 1,9 persen dari Desember ini terjadi setelah harga pangan pada 2015 turun hampir 19 persen.
FAO mengatakan harga pangan di pasar internasional pada Januari 16 persen dari periode yang sama tahun lalu.
“Kemungkinan masih ada prospek tekanan harga turun di pasar, tetapi perekonomian AS, nilai tukar uang dan kondisi keseluruhan makro ekonomi tidak mungkin diperkirakan dan dampak dari itu semua cukup penting,” ujar Abolreza Abbasian, ekonom senior FAO.
Kontras dengan IndonesiaMeskipun FAO melaporkan harga pangan dunia turun, namun hal tersebut sepertinya tidak terjadi di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka inflasi Januari 2016
year on year (yoy) sebesar 4,14 persen, padahal pada Januari 2014 tercatat deflasi 0,24 persen.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mencermati, harga bahan makanan menjadi pendorong signifikan inflasi Januari dengan kontribusi sebesar 90,2 persen. Daging ayam ras, telur ayam ras, beras, dan daging sapi merupakan empat bahan makanan yang harganya tidak berhasil dikendalikan akibat kebijakan pemerintah yang buruk terutama tata niaga yang tidak sehat.
Selain empat jenis bahan makanan tersebut, penyumbang inflasi lainnya dari kelompok bahan makanan adalah bawang merah, bawang putih, ikan segar, kentang, dan buah-buahan.
“Kondisi harga pangan Januari 2016 semakin buruk dibandingkan Desember 2015. Ketika itu sumbangan bahan makanan terhadap inflasi sebesar 67,7 persen. Penyumbang terbesar hampir sama dengan Januari 2016. Sementara di November 2015 baru 33,3 persen, jadi bisa dilihat lonjakan yang terjadi,” kata Faisal, pekan lalu.
Hal yang menarik bagi Faisal adalah, beras selalu muncul sebagai salah satu dalang penyebab inflasi akibat harganya yang terus tinggi. Padahal, harga beras diketahui sangat sensitif menggerus daya beli masyarakat miskin.
Ia mencatat pengeluaran masyarakat miskin untuk beras mencapai 28,74 persen dari keseluruhan pengeluaran. Disusul dengan gula pasir sebesar 3,11 persen, telur ayam ras 3,09 persen, daging ayam ras 1,79 persen, dan bawang merah 1,71 persen.
“Keseluruhan pengeluaran penduduk miskin untuk jenis-jenis bahan makanan yang harganya cenderung naik dalam beberapa bulan terahir mencapai 38,4 persen. Syukur harga tahu dan tempe stabil, kalau naik juga akses penduduk miskin terhadap protein semakin jauh,” tegasnya.
(yns)