Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menegaskan per 1 April 2016 setiap peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menunggak premi tidak akan dilayani oleh Puskesmas dan rumah sakit.
Sekalipun tunggakan dilunasi, terhitung mulai 1 Juli 2016 setiap penunggak premi BPJS yang menggunakan fasilitas rawat inap dalam kurun 45 hari sejak pelunasan, tetap akan dikenakan denda 2,5 persen dari total biaya perawatan.
Artinya, peserta penunggak premi BPJS Kesehatan harus menunggu lebih dari 45 hari sejak tunggakkan dilunasi untuk bisa dirawat di Rumah Sakit (RS) jika tidak ingin terkena denda tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Irfan Humaidi menjelaskan ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang tentang Jaminan Kesehatan Nasional, yang merupakan revisi kedua dari Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013.
Menurut Irfan, substansi perubahan dari Perpres Jaminan Kesehatan bukan hanya mengenai kenaikkan iuran premi, melainkan juga menyangkut soal perbaikan pelayanan, serta instruksi untuk melakukan tindakan preventif.
"Kalau Perpres sebelumnya ada denda 2 persen per bulan, sekarang dihapus. Tapi kalau dia menunggak lebih dari satu bulan atau sampai tanggal 10 setiap bulannya tidak membaya premi, dia langsung tidak dapat dilayani," jelas Irfan kepada
CNNIndonesia.com, Senin (15/3).
Kendati ketentuan denda 2 persen per bulan dihapuskan, Irfan mengatakan tetap ada denda administrasi yang bisa dikenakan kepada penunggak premi BPJS Kesehatan sekalipun tunggakannya dilunasi.
Sesuai ketentuan Pasal 17A.1 ayat 4 Perpres Nomor 19 Tahun 2016, lanjut Irfan, dalam waktu 45 hari sejak status kepesertaan aktif kembali atau tunggakan dilunasi, khusus peserta BPJS Kesehatan yang menggunakan fasilitas rawat inap diwajibkan membayar denda sebesar 2,5 persen dari total biaya perawatan. Adapun jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 bulan dan besar denda paling tinggi Rp30 juta.
"Jadi bagi peserta yang menunggak lebih dari satu bulan mau mengaktifkan kembali karena sakit, dia harus membayar tunggakan tanpa kena denda. Tapi kalau dalam waktu maksimal 45 hari sejak pengaktifan kembali dia dirawat inap memakai kartu JKN, dia kena denda 2,5% dari biaya rawat inap," tuturnya.
Kebijakan ini, jelas Irfan dimaksudkan agar masyarakat lebih patuh dan bertanggung jawah terhadap kewajiban membayar premi dan tidak hanya butuh BPJS Kesehatan ketika membutuhkan perawatan kesehatan saja.
Lepas Tanggung JawabIrfan menambahkan BPJS Kesehatan hanya bertindak sebagai BUMN pelaksana dan tidak ikut memutuskan besaran premi atau mengubah ketentuan denda dalam revisi JKN.
"Kalau soal kebijakan itu bukan domain BPJS Kesehatan. Pemrakarsa revisi Perpres Jaminan Kesehatan Nasional itu dari Kementerian Kesehatan dan DJSN, meski pembahasannya lintas kementerian/lembaga dan BPJS Kesehatan ikut dilibatkan," tuturnya.
Dari sisi pelayanan, Irfan mengakui masih ada beberapa yang perlu diperbaiki oleh BPJS Kesehatan. Namun, tidak berarti secara keseluruhan pelayanan BPJS Kesehatan bisa digeneralisasi buruk.
Sementara dari sisi premi, Irfan Humaidi mengatakan sejak awal memang besaran iuran yang berlaku saat ini di bawah estimasi biaya pelayanan kesehatan yang seharusnya. Alhasil, perseroan saat ini masih harus menanggung defisit atau selisih kurang sekitar Rp3,3 triliun.
"Tapi kan pemerintah punya komitmen untuk menutupnya," tuturnya.
Berdasarkan catatan BPJS Kesehatan, tambah Irfan, total peserta JKN saat ini sebanyak 162 juta orang atau sekitar 64 persen dari total sekitar 250 juta penduduk Indonesia. Namun, sesuai dengan peta jalan (roadmap) kebijakan pemerintah, per 1 Januari 2019 seluruh penduduk Indonesia harus sudah menjadi peserta BPJS Kesehatan.
"Intinya sampai dengan waktu yang ditentukan kami akan menyiapkan sistem untuk melakukan ketentuan yang diamanatkan pemerintah," katanya.
(ags)