Jakarta, CNN Indonesia -- PT Blue Bird Tbk menghindari perang tarif di tengah ketatnya persaingan bisnis dengan taksi-taksi berbasis aplikasi daring.
Direktur Blue Bird Sigit Priawan Djokosoetono memastikan perusahaannya belum akan memangkas tarif taksinya di tengah merebaknya penggunaan aplikasi layanan transportasi berbasis online. Pasalnya, perusahaan terikat pada peraturan, baik oleh peraturan daerah maupun peraturan Organisasi Angkutan Darat (Organda).
“Kita tidak bisa langsung potong diskon (tarif), karena dimarahin nanti. Begitu kita main harga, hancur tarif seluruh taksi,” tutur Sigit dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Jumat (18/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini, lanjutnya, Blue Bird menerapkan tarif buka pintu taksi jenis sedan maupun low MPV sebesar Rp7.500 dengan tarif jalan Rp4000 per kilometer (km). Tarif ini lebih tinggi dibandingkan tarif yang dipasang oleh duo pesaing 'taksi' berbasis aplikasi online, Grab maupun Uber.
Sementara komponen tarif GrabCar, untuk buka pintu terkena tarif sebesar Rp2.500, sedangkan tarif per km-nya sebesar Rp3.500 dengan faktor pengali maksimal lima kali lipat jika dalam keadaan tertentu. Adapun tarif minimum sebesar Rp10.000.
Sedangkan Uber memasang tarif buka pintu sebesar Rp3.000, tarif per km sebesar Rp2.001, dan tarif lama perjalanan sebesar Rp300 per menit.
“Kalau pilih yang lebih murah ya boleh saja, itu hak customer, memang hak penumpang,” ujarnya.
Alih-alih bersaing harga, Sigit mengungkapkan perusahaan akan berusaha meningkatkan pelayanan kepada konsumen. Misalnya, perusahaan akan memperbaiki sistem aplikasi pemesanan (booking) online agar tidak kalah dengan aplikasi pesaing.
Aplikasi booking online Blue Bird, lanjut Sigit, telah beroperasi sejak tahun 2014. Namun, diakui Sigit, perusahaan kurang melakukan promosi. Pasalnya, Blue Bird memiliki banyak pilihan opsi agar pelanggan bisa memesan taksi sesuai kondisi dan kebutuhan.
“Kalau di airport, akan lebih cepat kalau langsung ke antrian taksi,” ujarnya.
Selain itu, perusahaan juga akan mengambil beberapa langkah efisiensi, seperti mulai melirik armada yang menggunakan bahan bakar gas (BBG). Namun, hal itu belum akan dilakukandalam waktu dekat.
“BBG kan ongkosnya lebih ringan tapi kita ada masalah infrastruktur dan persiapan lain,” ujarnya.
Pada dasarnya, lanjut Sigit, Blue Bird tidak takut bersaing dengan taksi online selama hal itu dilakukan secara adil. Dalam hal ini, regulator bisa menyediakan arena berkompetisi yang setara antara perusahaan taksi konvensional dengan perusahaan transportasi berbasis aplikasi.
Sebagai contoh, jika perusahaan taksi konvensional harus mengurus berbagai jenis izin dan membentuk badan hukum untuk dapat beroperasi maka seharusnya hal yang sama juga diterapkan kepada perusahaan aplikasi yang selama ini hanya bermitra dengan perusahaan penyewaan mobil.
“Jadi semua peraturan yang berlaku buat kita, harusnya juga berlaku buat yang lain,”ujarnya
(ags)