Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menjanjikan studi bersama (
joint study) kajian harga gas ideal bagi kawasan industri Teluk Bintuni di Papua, antara BP Berau Ltd dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) bisa selesai pekan depan.
Direktur Industri Kimia Dasar, Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin Muhammad Khayam menuturkan, hasil studi bersama itu sedianya akan dibawa ke meja Wakil Presiden (Wapres) pada pekan ini.
"Tadinya pembahasan akhir terkait joint study tersebut akan dilakukan pekan ini, namun karena satu dan lain hal jadi diundur pekan depan. Kami harap itu tidak mengubah timeframe, karena itu sudah tahapan akhir yang seharusnya sudah bisa keluar setelahnya," ujar Khayam kepada CNNIndonesia.com, Senin (13/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Khayam menjelaskan, kajian harga serta volume gas yang dibuat di bawah koordinasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) sudah dilimpahkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sayangnya, Khayam tidak menjelaskan volume serta harga gas yang dimaksud.
"Dan di sini SKK Migas yang berperan penting karena nanti kan yang berperan dalam kontrak Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) adalah SKK Migas," ujarnya.
Masalah harga gas yang tinggi menjadi kendala utama pengembangan industri petrokimia secara nasional. Saat ini gas untuk pelanggan industri dibanderol dengan harga US$8 - US$10 per Million British Thermal Unit (MMBTU), jauh di atas harga di luar negeri yang hanya berkisar US$3 - US$4 per MMBTU.
Selain itu, ia menjelaskan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 tahun 2015 tentang Penetapan Harga Gas Bumi tidak dijadikan landasan dalam pelaksanaan studi bersama ini mengingat Perpres tersebut hanya akan dilakukan kepada kontrak-kontrak jual beli gas yang sudah ada (existing). Hal itu, jelasnya, sudah dipahami dengan baik oleh BP Berau maupun Pupuk Indonesia.
Apalagi, saat ini posisi fasilitas
Liquefied Natural Gas (LNG) Tangguh masih bersifat
Plan of Development (PoD) dan diharapkan bisa onstream di tahun 2020.
"Kami sepakat ruang lingkup kebijakan Perpres gas hanya untuk yang existing saja. Tapi kami juga tidak ingin gara-gara itu harga gas tidak bisa memenuhi permintaan, sehingga kami juga tengah menunggu nanti keputusan di kantor Wapres seperti apa," ujarnya.
Sejak Juni tahun lalu, studi bersama terkait harga gas bagi Teluk Bintuni dilakukan dan diharapkan bisa selesai dalam waktu setahun. Namun jika studi bersama ini gagal, Kemenperin menginginkan adanya payung hukum yang menjamin intervensi Pemerintah untuk menetapkan harga gas bumi yang terjangkau bagi industri petrokimia dan pupuk di kawasan itu.
Harga gas tersebut nanti akan berlaku bagi industri pupuk dan petrokimia yang akan berinvestasi di Teluk Bintuni. Setelahnya, Pemerintah juga akan segera membuat surat penugasan alokasi gas kepada KKKS untuk industri petrokimia saja, mengingat penugasan alokasi gas untuk industri pupuk sudah diberikan sejak tahun 2012.
Penugasan kepada BP Berau untuk memenuhi industri pupuk di Teluk Bintuni tercantum di dalam surat Plt. Kepala SKK Migas No. SRT-0839/SKKO0000/2014/S2. Surat tersebut mencantumkan pemenuhan gas sebesar 180 million standard cubic feet per day (MMSCFD) bagi industri pupuk di Teluk Bintuni.
Sebagai informasi, Kawasan Industri Teluk Bintuni yang seluas 2.344 hektare ini nantinya memang diperuntukkan bagi pengembangan industri petrokimia dan pupuk dengan harapan bisa menyerap investasi sebesar US$10 miliar. Pupuk Indonesia sendiri hanya menggunakan 100 hektare, atau seluas 4,26 persen dari total luas kawasan industri.
(gen)