Bali, CNN Indonesia -- Dalam dua dekade terakhir, Indonesia telah menghadapi dua kali krisis keuangan yakni pada 1997-1998 dan 2008. Masa-masa itu membuat Boediono mengingat kembali saat dirinya berjibaku menahkodai Bank Indonesia (BI).
Krisis moneter 2008, kata Boediono, menjadi pengalaman paling pahit bagi dirinya sebagai Gubernur BI. Menurutnya, tugas pejabat bank sentral di kala krisis lebih berat dibandingkan dengan saat dirinya menjadi orang nomor dua di negeri ini.
Ia mengibaratkan, bank sentral sebagai petugas pemadam kebakaran saat krisis keuangan melanda negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menjadi Gubernur Bank Sentral itu lebih sulit dan menegangkan dibandingkan menjadi seorang Wakil Presiden sebuah negara," ujar Boediono saat memberikan sambutan dalam seminar Bank Indonesia dan Federal Reserve Bank of NeW York di Nusa Dua, Bali, Senin (1/8).
Mantan Wakil Presiden itu menganggap keberhasilan Indonesia dua kali lolos dari hantaman krisis keuangan menjadi bukti bahwa daya tahan perekonomian nasional telah teruji. Hal itu dibuktikan dengan momentum pertumbuhan ekonomi yang terjaga dari tahun ke tahun meskipun dibayangi krisis.
Boediono, yang juga pernah menjadi Menko Perekonomian itu menilai kisah sukses Indonesia itu tak lepas dari peran bank sentral. Karenanya, ia menilai BI tak cukup hanya diberikan apresiasi, tetapi juga bisa dijadikan panutan bagi bank sentral lain dalam dalam mengelola dan merespons krisis keuangan.
Setidaknya ada lima hal, yang menurut Boediono bisa dijadikan pelajaran dalam mitigasi krisis keuangan di Indonesia. Pertama, para pengambil kebijakan harus memiliki kesiapan dalam menghadapi guncangan finansial dan mengelola efek kejut di pasar uang.
Pada saat krisis 1997-1998, kata Boediono, Indonesia menjadi negara yang paling sulit pulih dari keterpurukan saat itu. Pasalnya, pelaku pasar panik dan pengambil kebijakan tak punya perisapan yang cukup untuk meredam dampak rembetan dari krisis finansial Asia.
"Memang, ilmu dalam mengantisipasi krisis tidak secanggih dalam memprediksi gempa bumi. Namun menurut saya, kita harus kembali ke pepatah lama yaitu keseimbangan dalam hidup. Berikan perhatian secara khusus dan berkala seperti kita memperhatikan kesehatan tubuh dan selalu bersiap atas segala kemungkinan yang terjadi," kata Boediono.
Palajaran kedua, kata Boediono, respons cepat dari para pengambil kebijakan menjadi hal yang penting dalam menghadapi masa-masa krusial. Langkah taktis harus segera diambil oleh para otoritas yang berdiri di barisan pertama guna menghadang krisis keuangan semakin merajalela.
"Pada krisis ekonomi kedua tahun 2008, Indonesia membuat kebijakan cepat dalam merespon krisis akibatnya kita tidak terlalu terpengaruh dan kita menjadi negara yang cepat pulih dari krisis," lanjut Boediono.
Hal ketiga yang patut menjadi pelajaran, lanjut Boediono, koordinasi antar-institusi harus diupayakan sebelum krisis atau ketika situasi ekonomi sedang kondusif. Pasalnya, pada saat krisis terjadi ada tendensi para pengambil kebijakan akan saling lempar tanggung jawab dalam membuat keputusan. Hal ini dinilai sebagai upaya untuk menghindar dari target "kambing hitam" usai krisis terjadi.
Selanjutnya atau pelajaran keempat, Boediono mengingatkan pentingnya pemahaman dan belajar dari pengalaman guna mengurangi ketergantungan dari campur tangan asing. Dia mencontohkan ketika krisis 1998 meluluh-lantahkan perekonomian Indonesia. Saat itu, kurangnya pengalaman dalam mebaca situasi perekonomian global membuat Indonesia tergantung secara finansial dan terikat pada resep-resep International Monetary Fund (IMF).
Pelajaran terakhir, Boediono mengingatkan perlunya dukungan politik bagi para pengambil kebijakan ketika krisis melanda. Menurutnya, pengambil kebijakan ekonomi juga harus mengantisipasi pemanasan suhu politik yang kerap terjadi ketika krisis ekonomi melanda negeri.
Pada krisis 1998, misalnya, krisis keuangan semakin diperparah oleh reformasi politik yang memanas di Indonesia. Akibatnya, Indonesia butuh waktu selama enam tahun untuk memperbaiki nilai tukar rupiah dari keterpurukan panjang.
"Dukungan politik memiliki peran dalam mendukung perekonomian. Ekonomi yang baik hanya dapat terjadi di negara yang situasi politiknya baik," ujarnya.
Saat ini, lanjutnya, Indonesia masih dihadapkan oleh ketidakpastian global akibat pelemahan ekonomi di sejumlah negara. Tahun depan, pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksi tidak jauh berbeda dari saat ini.
"Namun saya masih memiliki keyakinan yang kuat terkait kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah saat ini bisa menyelamatkan Indonesia dari situasi yang sulit ini," tutup Boediono.
(ags)