Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) meminta semua pihak untuk tidak lagi memanfaatkan isu naiknya harga rokok sampai Rp50 ribu per bungkus tahun depan. Merebaknya isu tersebut telah dimanfaatkan para tengkulak untuk membeli tembakau hasil panen petani dengan harga murah.
Ketua Umum APTI Soeseno mengungkapkan, saat ini tidak banyak pilihan yang bisa diambil oleh petani tembakau. Oleh karena itu, banyak yang pada akhirnya merelakan hasil kebunnya diboyong dengan harga murah oleh tengkulak sejak rumor itu bergulir.
“Kalau tidak dijual seperti itu, produksi tembakau tidak akan terserap maksimal sekalipun pemerintah mendorong penjualan ke luar negeri,” kata Soeseno saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (22/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan, negara-negara penghasil rokok dan cerutu di dunia masih enggan membeli tembakau produksi Indonesia karena harganya yang tinggi.
“Pertanian tembakau Indonesia masih tradisional sehingga biaya produksi masih tinggi. Biaya produksi kita saat ini bisa mencapai US$2,5 sampai US$3 per kilogram (kg) tembakau," ungkap Soeseno.
Angka tersebut menurutnya masih terlalu tinggi bila dibandingkan dengan negara produsen tembakau lain yang telah memiliki mekanisme pertanian terintegrasi dan modern.
Belum lagi, lanjutnya, biaya transportasi menjadi faktor kedua yang semakin menyulitkan ekspor industri hasil tembakau (IHT). Pasalnya beberapa negara menerapkan tarif bea masuk yang tinggi, yang membuat industri rokoknya semakin enggan membeli tembakau dari Indonesia..
"Walau mutu tembakau Indonesia lebih baik tapi karena harganya mahal, tentu mereka tidak mau ambil dari kita. Kecuali beberapa jenis tembakau yang dominan dibutuhkan dunia, seperti tembakau Deli dan Voorsterland untuk cerutu," kata Soeseno.
APTI mencatat sepanjang 2015 nilai ekspor tembakau Indonesia mencapai US$1,1 miliar dalam bentuk rokok, cigar, dan rokok putih. Angka ekspor ini mengalami kenaikan bila dibandingkan 2014, yang mencapai US$1,023 miliar.
Namun, ekspor tembakau tahun ini bakal sulit ditingkatkan karena faktor cuaca kemarau basah di sejumlah sentra produsen tembakau.
"Prediksi kami, produksi IHT di Madura turun 60 persen, di Jember turun 80 persen, dan beberapa daerah basah lainnya, mengalami penurunan produksi sampai 70 persen sampai akhir tahun ini," ucapnya.
Tak hanya itu, bila rencana kenaikan harga rokok terjadi dengan nominal yang tinggi, tentu akan menggerus daya beli masyarakat yang berdampak pada penurunan permintaan pasokan bahan baku dari industri rokok yang juga berkurang pangsa pasarnya.
Padahal, berdasarkan rekapitulasi permintaan bahan baku tembakau oleh industri rokok saat ini sudah meninggalkan catatan yang baik.
Di mana permintaan bahan baku tembakau mencapai 350 ribu ton tembakau untuk membuat sekitar 360 miliar batang rokok pada 2015 atau meningkat sekitar 30 miliar batang dari 2014, sebesar 330 miliar batang rokok.
"Ini namanya mengganggu peta jalan atau road map IHT dimana sampai tahun 2020, pemerintah fokus kepada penerimaan negara dengan menargetkan produksi rokok bisa menyentuh angka 520 miliar batang," ujar Soeseno.
Bijak Tetapkan CukaiUntuk itu, Soeseno meminta pemerintah dapat mengkaji dengan bijak rencana kenaikan harga rokok dan pengenaan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Dimana, menurut Soeseno, kisaran kenaikan harga rokok seharusnya setara dengan angka inflasi negara atau setidaknya sampai 5 persen.
Karena di satu sisi, kebijakan yang bersangkutan dengan IHT harus sesuai dengan road map IHT sesuai Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 yang sebelumnya telah digodok bersama antar Kementerian, termasuk Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan.
"Jadi, inginnya sejalan dengan pernyataan Menteri Keuangan, kalau harga dan cukainya dinaikkan tidak apa tapi kesejahteraan petani dan pertumbuhan industri tetap dijaga. Barulah bisa menggenjot penerimaan negara," tutupnya.
Sementara itu, Budidoyo, Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menilai, pemerintah tak boleh hanya terpaku pada celah penerimaan cukai. Namun, pemerintah juga harus konsisten dengan road map yang telah dibuat bersama, yakni memfokuskan IHT pada sektor penerimaan negara.
"Prioritasnya penerimaan negara dari cukai, jadi, harusnya buat pasar industri rokok lebih menarik sehingga peneirmaan cukainya semakin tinggi. Kalau dinaikkan karena isu kesehatan, seharusnya pemerintah bisa lihat road mapnya, itu baru setelah tahun 2020," kata Budidoyo.
Sepakat dengan APTI, AMTI juga menilai, kenaikan harga rokok seharusnya dipatok dikisaran inflasi negara sehingga tidak berlebihan. Pasalnya, dalam setahun belakangan, pemerintah kerap membuat harga rokok terus mengalami kenaikan dengan meningkatkan tarif cukai.
(gen)