Jakarta, CNN Indonesia -- Industri petrokimia dan plastik Indonesia mengalami penurunan kinerja pada kuartal III tahun ini. Selain karena faktor siklus, penurunan industri juga disebabkan oleh perlambatan ekonomi global, terutama China.
Berdasarkan catatan Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), pertumbuhan industri petrokimia dan plastik nasional hanya tumbuh sekitar 5 persen pada periode Juli-September 2016. Pertumbuhannya melandai jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, di mana kuartal I tumbuh 5,5 persen dan kuartal II 5,2 persen.
"Demand China sudah mulai berkurang dan biasanya September-Oktober turun. Tapi sekarang penurunannya stabil dan sudah di bottom," ujar Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono kepada
CNNIndonesia.com, Senin (3/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalau mengacu pada siklus tahunan, kata Fajar, biasanya akan terjadi peningkatan permintaan pada akhir tahun. Dengan asumsi tersebut, ia memperkirakan industri petrokimia dan plastik akan tumbuh sekitar 5,3 persen sepanjang tahun ini atau sedikit meningkat dibandingkan pertumbuhan tahun lalu 5,2 persen.
"Biasanya akhir tahun, November-Desember,
demand meningkat lagi," tuturnya.
Fajar menambahkan, aktivitas produksi industri petrokimia dan plastik selama ini bergantung pula terhadap kinerja industri makanan dan minuman, serta ritel. Pasalnya, 95 persen industri ini bergerak di bisnis kemasan (
packaging) produk.
"Kalau industri makanan dan minuman bisa kembali tumbuh di atas 9 persen, kami akan sangat terbantu," tuturnya.
Tergantung ImporFajar Budiono menjelaskan, ada dua bahan baku industri petrokimia dan plastik yang paling dominan selama ini, yakni
Polypropylene (Pp)
dan polyethylen (Pe). Rata-rata setiap tahunnya dibutuhkan bahan baku Pp sebanyak 1,4 juta ton, sedangkan untuk Pe mencapai 1,3 juta ton.
"Mayoritas bahan baku itu masih harus diimpor. Karena pasokan domestik hanya mampu memenuhi kebutuhan 700 ribu ton Pe dan 650 ribu ton Pe," jelas Fajar.
Sampai dengan akhir kuartal III 2016, kata Fajar, sudah sekitar 75 persen kebutuhan bahan baku yang sudah terpenuhi, baik dari domestik maupun dari impor.
Dia menerangkan, nilai industri petrokimia dan plastik sangat tergantung dari volatilitas harga bahan baku, yang sejak tahun lalu statis di kisaran US$1.400 per ton. Selain itu, perkembangan industrinya juga sangat sensitif dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak mentah dan pertumbuhan ekonomi.
"Rata-rata harganya itu statis. Meskipun ada turun-naik sekitar US$20-30 per ton, tapi stabil. Itu tergantung harga minyak yang di kisaran US$40 per barel," tuturnya.
(ags/gen)