Indonesia Berambisi Bawa Pulang Dana Perubahan Iklim US$100 M

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Jumat, 25 Nov 2016 14:09 WIB
Dana perubahan iklim sebesar US$100 miliar juga tengah diperebutkan oleh negara-negara Asia Pasifik dan Afrika karena jumlahnya yang sangat besar.
Dana perubahan iklim sebesar US$100 miliar juga tengah diperebutkan oleh negara-negara Asia Pasifik dan Afrika karena jumlahnya yang sangat besar. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia berencana mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton karbondioksida (CO2) melalui upaya bersama antar negara (conditional) dan 398 juta ton CO2 melalui upaya sendiri (unconditional) pada 2030 mendatang.

Kesepakatan itu didapat dari Conference of the Parties (COP) 22 di Marrakech, Maroko pertengahan November lalu.

Namun, Indonesia juga memerlukan tambahan dana agar pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia berjalan lancar, sehingga pengurangan emisi CO2 juga bisa berjalan sesuai target. Pasalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak akan kuat untuk melaksanakan kewajiban tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk itu, pemerintah kini tengah mengincar dana perubahan iklim (climate fund) sedunia dengan besaran US$100 miliar hingga 2025. Sayangnya, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya untuk mendapatkan uang yang dihimpun dari negara-negara maju tersebut.

Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Farida Zed menjelaskan, climate fund ini tengah diincar oleh negara-negara Asia Pasifik dan Afrika karena jumlahnya yang sangat besar. Kendati demikian, ia menyebut bahwa Indonesia tak memiliki target khusus ihwal besaran dana yang akan diboyong Indonesia.

"Tapi tentu saja kami inginnya climate fund ini bisa kami boyong sebanyak-banyaknya, karena menurunkan kadar emisi itu kan tidak sekadar pakai uang negara saja. Sejauh ini kompetitor kami adalah negara-negara Afrika dan Asia Pasifik," jelas Farida, Jumat (25/11).

Lebih lanjut ia menyebut, saat ini negara-negara berkembang tengah berlomba-lomba menyusun proposal yang bisa menarik hati pemberi dana. Oleh karenanya, Kementerian ESDM beserta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyusun dokumen yang berisi program-program yang bisa dibiayai dengan climate fund.

Sayang, ia tak berani merinci jenis proyek-proyek yang akan dilakukan dengan dana jumbo tersebut. "Pengembangan EBT dan efisiensi energi bisa diusulkan melalui dana itu. Tinggal kekuatan proposal kita saja untuk meyakinkan penyandang dana bahwa proyek ini layak didanai," ujarnya.

Namun, sampai saat ini belum ada yang tahu kapan dana tersebut bisa tersedia. Menurut Farida, masalah climate fund sempat menjadi perbincangan menarik di COP 22 karena negara-negara maju belum meneken kata sepakat untuk menggelontorkan uang itu.

"Kalau misalkan sudah ada pengumuman dana itu bisa keluar, maka kami berlomba-lomba untuk submit proposal. Keputusan dari negara-negara maju ini ditunggu, karena kasnya kan dari mereka meski nantinya dihimpun di lembaga keuangan internasional seperti World Bank atau Asian Development Bank (ADB)," jelasnya.

Jika dana ini berhasil didapatkan pemerintah, ia yakin penurunan kadar emisi bisa sesuai target. "Kalau pakai dana internasional, kita bisa capai target emisi jenis unconditional tersebut," ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah juga akan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) Perubahan Iklim yang khusus mengelola dana hibah climate fund. Badan yang berada di bawah pengawasan Kementerian Keuangan ini dibentuk agar dana tersebut bisa dikelola secara transparan dan profesional. Sehingga, pemberi hibah percaya bahwa dana yang diberikan benar-benar dimanfaatkan.

Sebagai informasi, emisi gas rumah kaca telah mencapai 1.636 juta ton pada tahun 2015. (gen)
TOPIK TERKAIT
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER