Jakarta, CNN Indonesia -- Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) mengatakan, penjualan minuman beralkohol dengan kadar di bawah 5 persen (Golongan A) masih belum bisa bangkit setelah kebijakan pengendalian minuman beralkohol yang diterapkan mantan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel berjalan dua tahun.
Anggota Komite Eksekutif GIMMI Bambang Britono beralasan, ketentuan yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2015 itu masih memutus tata distribusi minuman beralkohol ke tingkat pengecer dan minimarket.
Padahal menurutnya, penjualan melalui minimarket berkontribusi sebesar 10 hingga 12 persen dari total penjualan minuman beralkohol golongan A secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"10 hingga 12 persen ini hanya di minimarket saja, di tingkat pengecer lain persentasenya lebih besar lagi. Akibatnya, penjualan kami hingga sekarang masih belum bisa kembali ke posisi sebelum pertauran ini ditetapkan," papar Bambang, kemarin.
Selain itu, ia menuturkan bahwa peraturan itu juga membawa dampak yang lebih besar karena memutus perdagangan di tingkat grosir. Pasalnya, sesuai dengan pasal 14 beleid tersebut, penjualan minuman beralkohol hanya boleh dilakukan di supermarket dan minimarket saja. Maka dari itu, seacara otomatis, penjualan via grosir juga tidak diperbolehkan.
"Padahal penjualan grosir ini sangat membantu, karena biasanya restoran atau tempat yang menyediakan bir untuk diminum langsung membeli bir di tempat grosir ini," paparnya.
Implikasinya, utilisasi produksi minuman beralkohol golongan A juga menurun dalam dua tahun terakhir. Sayangnya, ia tidak tahu angka penurunannya karena masing-masing produsen tidak mau mengungkapkan produksinya dengan alasan persaingan usaha.
Meski begitu, ia bilang penjualan di tahun 2016 sudah mulai membaik. Hal itu didorong oleh permintaan dari beberapa destinasi wisata turis mancanegara. Namun menurutnya, pelaku usaha masih akan mengalami jalan panjang sebelum bisa kembali ke penjualan seperti semula.
"Selain itu, sebagian besar anggota kami kan fokus di minuman beralkohol saja. Jadi, jika
demand-nya menurun, ya mau tak mau ikut kondisi yang ada saja. Sementara, untuk produsen lainnya, mungkin memilih untuk mengembangkan produk non-alkohol untuk mengantisipasi penurunan
demand ini," tambah Bambang.
Kebijakan AnehIa menambahkan, kebijakan ini dianggap aneh karena bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk menambah penerimaan negara. Menurut Bambang, jika pemerintah tak ingin penerimaannya tergerus, maka jangan membuat kebijakan yang menghalangi tujuan tersebut.
Ia juga mengacu pada penerimaan cukai tahun lalu sebesar Rp92,51 triliun, atau 64,5 persen dari target sebesar Rp146,43 triliun.
"Seharusnya, jika pemerintah punya target, maka kebijakannya harus holistik. Percuma saja bikin target penerimaan cukai tapi distribusi barang yang bisa menghasiljan cukai dihalang-halangi," pungkasnya.
Menurut data Kementerian Perindustrian, volume produksi minuman beralkohol golongan A sempat turun drastis 24,3 persen dari 262,5 juta liter ke 198,7 juta liter ketika Permendag tersebut diterbitkan. Setahun kemudian, produksinya membaik 13,13 persen ke angka 224,8 juta liter.