Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melihat, penutupan seluruh gerai 7-Eleven pada akhir bulan ini lantaran tergerusnya pendapatan dari penjualan minuman beralkohol (minol) yang menjadi salah satu pangsa pasar 7-Eleven.
Adapun larangan penjualan minol berlandaskan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, yang diterbitkan era Menteri Perdagangan Rahmat Gobel.
"Konon katanya yang menyebabkan drop [menurun], karena penjualan minol tidak boleh. Mereka mulai kehilangan salah satu
competitive advantage dibanding yang lain," ujar Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani di sela acara halalbihalal di kawasan Senayan, Senin (26/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, saat Permendag tersebut keluar, Kementerian Perindustrian mencatat volume produksi minol golongan A turun hingga 24,3 persen, dari 262,5 juta liter ke 198,7 juta liter. Sementara, berdasarkan data Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI), penjualan minol di ritel jenis minimarket memang menurun, padahal sebanyak 10-12 persen penjualan minol bergantung pada minimarket.
Tidak hanya karena tergerusnya pangsa pasar, Hariyadi melihat, ada pula dampak kemunduran usaha dari sisi manajemen dan rencana bisnis yang kurang kuat dibandingkan dengan kompetitor sejenis, misalnya PT Indomarco Prismatama yang membawahi gerai ritel Indomaret dan Indomaret Points, PT Sumber Alfaria Trijaya yang membawahi Alfamart, dan PT. Circleka Indonesia Utama yang membawahi ritel Circle K.
"Konsepnya tidak kuat dengan yang lain, berat persaingannya, apalagi di permainan belakangan ini. Indomaret dan Alfamart terkonsentrasi di beberapa titik saja. Kalau Circle K misalnya kuatnya di Bali, konsumennya turis," terang Hariyadi.
Alhasil, strategi penataan keuangan menjadi terganggu dan pertolongan keuangan melalui rencana akusisi bisnis dari PT Charoen Pokphand Indonesia, tak bisa membalik keadaan. Apalagi pada akhirnya Charoen memutuskan mengagalkan rencana tersebut.
"Dari segi waktu, sudah mulai bermasalah keuangannya, Charoen akhirnya mundur juga," imbuhnya.
Padahal Hariyadi menilai konsep bisnis 7-Eleven sejatinya sangat menarik, yaitu menjual produk dengan paduan konsep gaya hidup 'nongkrong' sehingga mudah menarik hati masyarakat kala itu. Sayangnya, dari sisi manajemen kurang mengantisipasi kebocoran pangsa pasar tersebut.
Kendati begitu, permasalahan 7-Eleven ini, dirasa Hariyadi tak akan menggangu iklim usaha bisnis ritel. Pasalnya, masih ada sejumlah pemain ritel besar yang mampu bertahan dan menguasai pasar.
"Tak ada, kecil [dampak] dari Sevel. Kalau Alfamart dan Indomaret [yang bermasalah] baru kami bermasalah juga, karena karyawannya banyak banget. Sevel tidak terlalu," sebut Hariyadi.
Seperti diketahui, 7-Eleven yang berada di bawah PT Modern Internasional Tbk terpaksa menutup seluruh gerainya pada akhir bulan ini. Direktur Modern Internasional Chandra Wijaya mengatakan, penutupan 7-Eleven lantaran adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki perseroan untuk menunjang kegiatan operasional gerai itu.
Alhasil, satu per satu gerai 7-Eleven terpaksa gulung tikar sejak tahun lalu. Sejak tahun lalu, tercatat, sebanyak 25 gerai sudah tutup. Sedangkan sampai Maret 2017 lalu, jumlah gerai yang ditutup bertambah 30 gerai.