Faktor Psikologis, Industri Makanan dan Minuman 'Meriang'

CNN Indonesia
Rabu, 02 Agu 2017 13:05 WIB
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) pelemahan bukan karena penurunan daya beli masyarakat, tetapi pengaruh psikologis kondisi terkini.
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) pelemahan bukan karena penurunan daya beli masyarakat, tetapi pengaruh psikologis kondisi terkini. (CNN Indonesia/Djonet Sugiarto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Perlambatan ekonomi dan pelemahan daya beli masyarakat berimbas ke industri manufaktur, khususnya sektor makanan dan minuman (mamin). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan industri manufaktur mikro dan kecil pada kuartal kedua tahun ini berada di kisaran 2,5 persen.

Angka tersebut anjlok secara signifikan dibandingkan pertumbuhan industri manufaktur mikro dan kecil pada kuartal pertama tahun ini yang mencapai 6,63 persen.

Secara spesifik, BPS mencatat ada penurunan pertumbuhan cukup drastis untuk industri minuman yakni sebesar 8,26 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara, untuk industri makanan memang tercatat naik 7,04 persen, namun pertumbuhan tersebut tidak banyak berbeda dengan pertumbuhan kuartal II tahun 2016 yang sebesar 6,7 persen.

Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers mengungkapkan, selain dampak perlambatan ekonomi, kurangnya keberpihakan terhadap pelaku industri mikro kecil menjadi salah satu alasan sektor tersebut merosot pada kuartal kedua.

Apalagi, pelaku usaha makanan dan minuman biasanya tidak memiliki cukup modal yang kuat untuk terus eksis.

“Harusnya keberpihakan kita ke sana, karena dia perusahaan kecil yang perlu dibantu. Perlu diketahui, perusahaan industri mikro kecil buka tutupnya gampang sekali,” kata Suhariyanto, kemarin.

Penurunan pertumbuhan industri mamin pun turut dirasakan oleh para pelaku usaha skala besar.

Menilik hasil laporan keuangan sejumlah emiten konsumer selama semester I, beberapa emiten tercatat mencetak kinerja yang justru berada di bawah ekspektasi.

PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 7,2 persen year on year (yoy) menjadi Rp1,20 triliun dari pendapatan tahun lalu yang sebesar Rp1,29 triliun.

Begitupun dengan laba bersih turun 8,2 persen menjadi Rp 244,9 miliar dibanding sebelumnya Rp 265,1 miliar. Pelemahan kinerja perseroan lantaran penjualan dari segmen makanan dan minuman yang turun 36,9 persen yoy menjadi Rp 373,7 miliar.

Penjualan bersih PT Mayora Indah Tbk., juga mengalami pelemahan. Pada paruh pertama tahun ini, penjualan hanya tumbuh 1,23 persen secara tahunan menjadi Rp 9,39 triliun. Padahal, pada paruh pertama tahun lalu pertumbuhannya mencapai 23 persen.

Hal lain dirasakan oleh PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Entitas Grup Salim itu memang mampu mencatat kenaikan pendapatan 1,6 persen year on year (yoy) menjadi Rp 18,46 triliun.

Laba bersihnya juga naik 5,7 persen menjadi Rp 2,09 triliun dari sebelumnya Rp 1,98 triliun. Tapi jika ditelisik lebih lanjut, pendapatan Indofood kuartal kedua tercatat Rp 9 triliun, turun hampir 5 persen dibanding kuartal I tahun ini.

Akibatnya, laba usaha perusahaan tersebut pada periode itu juga mengalami penurunan sekitar 17 persen secara kuartalan (q to q) jadi Rp 1,3 triliun. Demikian juga dengan laba bersih yang turun 8 persen jadi Rp 1 triliun.

Faktor Psikologis

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman mengatakan pada awal tahun memang terjadi kelesuan di industri mamin. Namun hal itu bukan karena penurunan daya beli masyarakat, akan tetapi pengaruh psikologis kondisi terkini.

"Ini faktor psikologis karena banyak orang menunggu peraturan, seperti pajak progesif tanah, pengetatan pengawasan perpajakan setelah tax amnesty. Banyak investasi juga yang menunggu pilkada selesai," imbuhnya.

Kendati begitu Adhi yakin kenaikan upah minimum provinsi (UMP) akan mendorong daya beli masyarakat. Kenaikan harga komoditas juga akan menggenjot pertumbuhan banyak perusahaan sehingga daya beli masyarakat juga akan meningkat.

Kontribusi industri makanan terhadap produk domestik bruto (PDB) memang sangat tinggi. Data BPS memperlihatkan PDB untuk industri makanan dan minuman sepanjang kuartal I tahun 2017 mencapai Rp191,3 triliun, naik 11,8 persen dibanding kuartal I tahun 2016 sebesar Rp171,1 triliun.

PDB sektor ini sepanjang 2016 tercatat Rp741,7 triliun, menjadi yang tertinggi di industri pengolahan non-migas.
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER