Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Wakaf Indonesia (BWI) meminta pemerintah untuk memberikan insentif guna mengoptimalkan pemanfaatan tanah wakaf di Indonesia. Pasalnya, saat ini, ada ratusan hektare (ha) tanah wakaf berstatus menganggur (idle).
"Pemerintah harus memberikan insentif, baik kepada perusahaan pelat merah maupun swasta, untuk bisa mengembangkan aset-aset wakaf yang sangat besar di Indonesia," ujar Pengurus BWI Robbyantono, Rabu (8/11).
Saat ini, luas tanah wakaf di Indonesia mencapai 420 ribu ha. Dengan asumsi harga tanahnya sebesar Rp500 ribu per meter persegi, maka nilai tanah wakaf di Indonesia mencapai lebih dari Rp2.100 triliun. Sebagian besar tanah tersebut berada di sekitar perkotaan. Artinya, nilainya bisa jadi lebih besar dari perkiraannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, dari luas tanah tersebut, hanya 10 persen yang telah diutiliasi secara produktif atau menghasilkan penerimaan (revenue center). Sementara, sisanya, merupakan aset menganggur (idle asset) atau tidak dimanfaatkan secara optimal.
Robby menyebutkan, tanah wakaf seluas 5 ribu meter persegi atau senilai Rp300 miliar di Jakarta, misalnya, yang belum dikelola dengan baik oleh nadzir (pengelola wakaf) karena hanya dijadikan lahan parkir.
Akibatnya, hasil pengembangannya hanya Rp200 juta per tahun. Padahal, jika dibangun bangunan komersial lain, hasil pengembangan yang bisa dinikmati oleh umat bisa lebih besar.
Sebagai catatan, pemanfaatan pengembangan wakaf bisa berupa banyak hal. Misalnya, pembangunan sekolah atau rumah sakit ataupun pembebasan biaya pendidikan dan pengobatan.
Menurut Robby, beberapa aturan terkait pengembangan aset properti strategis perlu direvisi. Ketika mengembangkan aset properti di atas tanah wakaf, maka aset properti yang dibangun di atasnya tidak boleh dijual atau hanya berstatus sewa.
Akibatnya, tingkat pengembalian ke pengembang menjadi lebih lama, yaitu sekitar tujuh hingga delapan tahun. Hal ini membuat perusahaan pelat merah karya atau swasta berpikir dua kali untuk mendirikan bangunan komersial di atasnya.
Solusinya, lanjut Robby, harus ada aturan yang memungkinkan penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas bangunan yang dibangun di atas tanah wakaf yang berlaku selama periode tertentu.
Pemerintah juga bisa membuat aturan yang mengizinkan perusahaan pelat merah atau swasta menerbitkan sukuk al-intifa atau sukuk yang berbasis pada manfaat dari pengembangan aset wakaf.
Selain itu, pemerintah juga bisa menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada perusahan pelat merah untuk mengembangkan aset wakaf demi pembangunan.
"Pemerintah sejak awal harus menegaskan bahwa PMN ini untuk utilisasi aset-aset wakaf yang masih sangat besar potensinya," pungkasnya.
(bir)