Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mewaspadai ancaman digitalisasi terhadap kesempatan kerja di Indonesia. Salah satunya yang berasal dari maraknya kegiatan perdagangan secara elektronik (e-commerce) yang membuat pedagang ritel menutup sebagian gerai ritel fisiknya.
“Saat ini, Bappenas sedang membuat kajian mengenai dampak digitalisasi perekonomian terhadap penciptaan lapangan kerja. Terus terang kami harus antisipasi," ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasinonal (PPN) Bambang PS Brodjonegoro, Senin (13/11).
Bambang mengungkapkan, dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia bakal menikmati bonus demografi di mana penduduk usia produktif akan mendominasi dan membutuhkan lapangan kerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, digitalisasi memungkinkan pekerjaan yang tadinya dikerjakan oleh manusia dialihkan kepada mesin. Artinya, ada pekerjaan yang bakal hilang. Padahal, tingkat pengangguran Indonesia masih cukup tinggi.
Per Agustus 2017, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir tingkat pengangguran terbuka Indonesia (TPT) sebesar 5,5 persen. Angka itu diperoleh dari rasio jumlah penduduk menganggur yang mencapai 7,04 juta orang terhadap total angkatan kerja 128,06 juta jiwa.
Meskipun TPT Agustus 2017 tidak lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yaitu 5,61 persen, namun realisasi itu lebih tinggi dibandingkan target pemerintah yang sebesar 5,4 persen dan masih di atas target tingkat pengangguran tahun 2019, yaitu di kisaran 4 hingga 5 persen.
Tambahan jumlah angkatan kerja juga masih lebih besar dibandingkan jumlah lapangan kerja yang tercipta. Tercatat, tambahan jumlah angkatan kerja mencapai 2,62 juta orang. Sedangkan, lapangan kerja yang terbuka hanya 2,61 juta jiwa sehingga, secara nominal, jumlah pengangguran masih bertambah 10 ribu orang.
Salah satu solusi untuk mengantisipasi digitalisasi adalah pekerja-pekerja di Indonesia bisa beralih ke sektor lain yang membutuhkan kompetensi lebih tinggi atau ke sektor jasa yang tengah berkembang.
Saat ini, lanjut Bambang, masih terjadi ketidakcocokan (mismatch) antara kebutuhan industri dengan kompetensi angkatan kerja.
Karenanya, pemerintah mendorong implementasi pendidikan vokasi untuk memenuhi permintaan industri. Selain memperbaiki kurikulum dan tenaga pengajar, pemerintah juga mendorong program magang vokasi hasil kerja sama pemerintah dengan pelaku usaha.
(bir)