Kementerian ESDM menyatakan tarif listrik tidak serta menjadi murah atau turun lewat pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan ESDM Rida Mulyana menyebut dengan memanfaatkan limbah batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), memang biaya pengelolaan akan turun, namun implikasinya tidak langsung mengarah ke tarif listrik.
"Logikanya betul kalau itu (pemanfaatan limbah) akan menurunkan operating cost dan akan menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP) tapi gak sebesar itu. Ga akan banyak berdampak pada tarif tenaga listrik," jelasnya pada press conference, Senin (15/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Rida, manfaat lain yang bisa diraup ialah menurunkan biaya pembangunan infrastruktur karena FABA yang biasanya menjadi 'beban' lantaran hanya menjadi limbah timbunan, sekarang bisa dikonversi menjadi beton yang lebih murah dari konvensional.
Ia menyebut pencampuran bahan baku beton ini akan memberikan potensi efisiensi anggaran pembangunan infrastruktur sebesar Rp4,3 triliun hingga 2028 mendatang.
Selain itu, pemanfaatan juga akan memberi peluang kerja kepada 500 ribu tenaga kerja usaha kecil dan mikro batako dan paving block.
Hitungannya, industri tersebut akan meningkatkan pendapatan pekerja secara total senilai Rp25,3 triliun dalam 10 tahun mendatang.
"Dari potensi yang bisa dimanfaatkan, ini perubahan tata kelola saja, jadi bukan karena menganggap non-B3 kami mengabaikan sisi lingkungannya," lanjutnya.
Secara terpisah, Vice President Public Relations PLN Arsyadani Ghana Akmalaputri menyebut pemanfaatan FABA pada PLTU dapat menghemat 30 persen dari biaya pengelolaan limbah.
Untuk diketahui, FABA adalah limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi.
"Sampai dengan 30 persen dari biaya pengelolaan (limbah) awal," ujar Vice President Public Relations PLN Arsyadani Ghana Akmalaputri kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Kebijakan itu tertuang dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Lewat aturan tersebut, limbah batu bara bisa dimanfaatkan untuk bahan baku infrastruktur. Misalnya, produk beton non konstruksi, seperti slab (pelat) beton, kanstin, pemecah gelombang, beton blok, dan sebagainya.
Selain itu, FABA juga bisa dimanfaatkan untuk produk semi beton ringan, seperti batako, paving, sekat pagar, serta bahan campuran pengeras jalan (road base), serta lainnya.
Arsyadani menyatakan semua produk tersebut telah memenuhi persyaratan kualitas produk atau Standar Nasional Indonesia (SNI).
"Dampaknya PLN bisa mengoptimalkan penyerapan pemanfaatan, mendorong FABA digunakan sebagai sumber daya material, dan menekan pengeluaran anggaran," tutur dia.
Karena itu, PLN akan berkoordinasi dengan Kementerian PUPR serata BUMN karya agar FABA bisa dimanfaatkan secara maksimal setelah dikeluarkan dari limbah beracun. "Berharapnya manajemen pengelolaan FABA di lapangan akan semakin mudah dan murah," ucapnya.
Pembangkit listrik milik PLN sendiri saat ini memang masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.
Berdasarkan data dari bahan paparan PLN kepada Komisi VII DPR pada November 2020 lalu disebutkan bahwa porsi PLTU masih mayoritas yakni 50,4 persen atau kapasitas 31.827 MW.
Disusul oleh pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 12,6 persen atau kapasitas 7.992 MW dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) sebesar 10,7 persen atau kapasitas 12.137 MW.
Namun, perusahaan setrum itu berencana meningkatkan porsi pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT), dan sebaliknya menurunkan pembangkit energi fosil.
Tercatat, periode 2000-2019 pertumbuhan pembangkit fosil 6,6 persen. Namun, pada 2020-2029 targetnya bisa diturunkan menjadi hanya 3,6 persen.
Sebaliknya, pengembangan pembangkit EBT dari 2000-2019 tumbuh 7,1 persen. Rencana ke depan, jumlah pembangkit EBT ditargetkan bisa naik 12.7 persen pada 2020-2029.
(wel/bir)