Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, menyatakan pemerintah melarang masyarakat untuk mudik tahun ini demi menekan laju penularan covid-19 di daerah.
Kebijakan berlaku mulai 6 Mei hingga 17 Mei 2021 atau pada pekan terakhir Ramadan hingga sepekan setelahnya.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, ini akan 'melukai' ekonomi di daerah. Dia memprediksi kebijakan akan membuat pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini kembali terkontraksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perkirakan saya perekonomian masih akan negatif 2-3 persen. Jadi memang cukup berat di kuartal kedua. Kuartal pertama juga diperkirakan masih negatif kisaran 1-2 persen," ucapnya dikutip, Kamis (2/4).
Bhima membeberkan sejumlah faktor yang membuat perekonomian terjerembab akibat larangan mudik. Pertama, tertahannya konsumsi rumah tangga yang kontribusinya mencapai 57 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Ia mengatakan dengan kebijakan itu, masyarakat akan lebih memilih menabung ketimbang menghabiskannya untuk berbelanja. Hal itu memungkinkan mereka tetap bisa mudik setelah larangan bepergian ke luar kota sudah dicabut oleh pemerintah, entah itu di kuartal ketiga atau di akhir 2021 mendatang.
Kalau pun terjadi peningkatan konsumsi, jumlahnya tak akan sama atau lebih besar dari periode sama sebelum pandemi covid-19. Sebab, aktivitas pariwisata dan berbelanja yang biasanya terjadi saat masyarakat mudik ke kampung halaman tak dapat mereka lakukan di Jakarta dan kota-kota lain di sekitarnya.
Di sisi lain, arus uang ke daerah yang biasanya kian deras karena adanya tunjangan hari raya (THR) juga bisa tersumbat. Ia mencontohkan rata-rata pemudik bisa menghabiskan Rp5-10 juta di kampung halaman. Dengan asumsi 20 juta orang melakukan mudik tiap tahunnya, maka potensi hilangnya aliran uang ke daerah bisa mencapai Rp200 triliun.
"Uang beredar itu sekitar 10 persen pertumbuhannya saat mudik. Sebagian itu masuk ke daerah. Itu mungkin lebih dari Rp200 triliun yang mengalir ke daerah dalam bentuk belanja langsung maupun transportasi, pariwisata dan lain-lain," terang Bhima.
Kendati demikian, Bhima tak memungkiri larangan mudik penting diberlakukan mengingat pandemi covid-19 belum berakhir dan program vaksinasi masih berjalan lambat.
![]() |
Hanya saja, pemerintah tak boleh lepas tangan atas dampak yang timbul dari kebijakan tersebut. Sektor-sektor usaha yang paling terdampak mulai dari transportasi, perhotelan hingga pariwisata.
Kemudian aktivitas ekspor yang jadi motor penggerak perekonomian harus lebih digenjot agar dapat mengompensasi penurunan konsumsi rumah tangga. Itu artinya sebelum musim mudik lebaran produktivitas industri berorientasi ekspor harus didorong dengan berbagai macam kebijakan.
Sementara, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Rendy Yusuf Manilet memperkirakan di tengah larangan mudik, pertumbuhan ekonomi masih bisa berada di zona positif.
Perkiraan ia dasarkan pada penyaluran sejumlah bantuan sosial ke masyarakat yang kini lebih terarah dibandingkan masa-masa awal pandemi tahun lalu.
"Tapi ini asumsinya bantuan dari pemerintah yang ada sekarang tetap dijalankan, ya. Soal apakah bantuan yang diberikan pemerintah itu konsisten sampai lebaran, kita lihat saja nanti," tuturnya.
Faktor lain yang membuat ekonomi berpeluang tumbuh positif adalah longgarnya kebijakan bepergian dalam satu daerah selama lebaran. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh para pelaku usaha di sektor transportasi dan pariwisata yang kehilangan pasar akibat larangan mudik.
"Di dalam kota khususnya yang angka kasus covid-nya masih rendah, dua sektor tadi masih bisa gaet peluang dengan maksimalkan market itu sendiri," terang Rendy.
Terlepas dari hal tersebut, ia sepakat bahwa bantuan dari pemerintah perlu ditambah untuk jika ingin memanfaatkan libur lebaran sebagai momentum mempercepat pemulihan ekonomi.
"Yang paling cepat untuk merangsang konsumsi rumah tangga itu ya bantuan langsung tunai (BLT). Karena efeknya ke perekonomian di sekitar mereka bisa meningkat. Kalau kita belajar dari tahun lalu, BLT ini pun bisa jadi faktor terdorongnya konsumsi rumah tangga meskipun terbatas," pungkas Rendy.
(wel/ayp)