Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra mengatakan keuangan perusahaan semakin tertekan di masa pandemi covid-19. Hal ini lantaran pengeluaran tetap tinggi meski pendapatan turun drastis.
"Masalah adalah ketika pandemi muncul. Pandemi ini akibatkan jumlah penumpang turun drastis, sehingga berdampak ke pendapatan," ucap Irfan dalam wawancara khusus, Senin (31/5).
Irfan mengatakan rata-rata pendapatan perusahaan turun hampir 60 persen pada 2020. Namun, pada waktu-waktu tertentu penurunannya hingga 90 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Anda kebayang ketika pendapatan turun sangat drastis tapi beban biaya tidak bisa mengikuti secara langsung. Inilah yang jadi masalah di semua maskapai termasuk Garuda Indonesia," ujar Irfan.
Ia mengatakan sebenarnya perusahaan sudah mencoba melakukan efisiensi dengan menghemat sewa biaya pesawat sekitar US$15 juta per bulan. Dengan demikian, rata-rata efisiensi sewa pesawat per tahun hampir US$200 juta.
"Namun, nampaknya harus dikurangi lagi," imbuh Irfan.
Pada Desember 2020, Irfan mengatakan keuangan Garuda Indonesia terlihat ke arah positif. Namun, kebijakan larangan mudik tahun ini kembali memukul keuangan Garuda Indonesia.
Ia mengakui Garuda Indonesia memang jarang membukukan keuntungan. Bahkan, perusahaan juga mewarisi banyak utang di setiap manajemen.
"Kami juga mewarisi banyak hal. Utang. Tapi saya tidak pernah komplain. Ganti manajemen selalu mewariskan," jelas Irfan.
Sementara, maskapai penerbangan adalah industri yang keuntungannya terbilang tipis. Hal ini karena beban biayanya tinggi dan besarannya pasti.
"Beban biaya itu sewa pesawat, biaya perawatan, biaya avtur, dan biaya sumber daya manusia," ucap Irfan.
Melihat laporan keuangan perusahaan, Garuda Indonesia sebenarnya berhasil membukukan keuntungan sebesar US$6,98 juta atau Rp99,11 miliar (kurs Rp14.200 per dolar AS) pada 2019. Namun, keuangannya langsung tertekan pada 2020 atau saat pandemi melanda dunia termasuk Indonesia.
Garuda Indonesia menderita kerugian hingga US$1,07 miliar atau Rp15,19 triliun pada kuartal III 2020. Angkanya berbanding terbalik dibandingkan dengan posisi kuartal III 2019 yang membukukan laba bersih sebesar US$122,42 juta atau Rp1,73 triliun.
Baca juga:Dua Skema Tax Amnesty Jilid II |
Pendapatan perusahaan jeblok dari US$3,54 miliar (Rp50,26 triliun) menjadi US$1,13 miliar (Rp16,04 triliun). Rinciannya, pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal sebesar US$46,92 juta (Rp666,26 miliar) dan penerbangan berjadwal US$917,28 juta (Rp13,02 triliun).
Saat ini, perusahaan sedang menawarkan program pensiun dini untuk seluruh karyawannya. Karyawan dapat mengajukan pensiun dini hingga 19 Juni 2021 mendatang.
Program pensiun dini diharapkan dapat membantu keuangan perusahaan yang sedang tertekan. Sejauh ini, sudah ada lebih dari 100 karyawan yang mengajukan pensiun dini.
(aud/nay)