Pengurus Kadin sekaligus Ketua Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Sumatera Barat Tedi Alfonso mengeluhkan soal dominasi BUMN dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur di daerah.
Hal ini menyebabkan perusahaan-perusahaan lokal sulit untuk berkembang dan hanya bisa gigit jari. Bahkan, kata dia, kemitraan dengan pengusaha lokal juga terbilang minim karena banyaknya BUMN yang memilih bekerja sama dengan anak hingga cucu usahanya sendiri.
"Misalnya di Sumatera Barat soal jalan tol. Kontraktornya lebih banyak dikerjakan oleh anak usaha Hutama Karya. Ini kan menghambat pengembangan usaha di daerah," ujarnya dalam webinar yang digelar Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Kamis (3/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tedi pun mempertanyakan peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam memastikan keberlangsungan bisnis pengusaha lokal di tengah dominasi BUMN tersebut. Pasalnya, meski BUMN telah didorong untuk bermitra dengan pengusaha lokal, banyak di antaranya yang membuat kriteria tertentu sehingga anak usahanya kembali terpilih.
"Ketika perusahaan di daerah menjadi rekanan pada BUMN, kebanyakan harus mendaftar terlebih dahulu, ini kan untuk menjadi rekanan harus penuhi berbagai persyaratan. Kalau tidak ada semacam kelonggaran untuk perusahaan di daerah, maka tentu saja anak atau cucu perusahaan yang menggarap proyek ini," ucapnya.
Belum lagi masalah perusahaan lokal yang kesulitan cash flow setelah menjadi rekanan BUMN dalam proyek-proyek di daerah. "Karena pembayaran proyek di daerah itu kadang-kadang mencapai 6 bulan, satu tahun bahkan bisa sampai dua tahun," jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Mantan Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan masalah dominasi BUMN di daerah memang bukan hal baru dan terus terjadi hingga saat ini.
Saat dirinya masih menjabat di KPPU, program sinergi BUMN juga banyak dikeluhkan karena membuat pengusaha swasta mendapatkan proyek.
Salah satu contohnya adalah kasus penguasaan dan diskriminasi terhadap produksi dan pemasaran di Bandara Soekarno-Hatta yang membuat PT Angkasa Pura II (Persero) serta PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk saat itu dinyatakan melanggar Pasal 15 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
"Pernah kami lakukan enforcement terutama yang berkaitan dengan kewajiban menggunakan vendor Telkom di bandara khususnya di Soekarno-Hatta waktu itu. Sementara, misalnya ya, untuk infrastruktur telekomunikasi, waktu itu wajib menggunakan infrastruktur yang sudah dibangun Telkom," tuturnya.
Namun, kata Syarkawi, BUMN juga sempat mempertanyakan perihal larangan kerja sama antara perusahaan pelat merah tersebut ke KPPU. Sebab, hal serupa juga dilakukan oleh perusahaan swasta dalam sebuah konglomerasi bisnis yang besar.
"Misalnya ada grup besar swasta yang semua bisnisnya dilakukan oleh anak usahanya sendiri. Bank-nya di situ, asuransi juga di situ, kemudian pengangkutan di situ, semua terintegrasi tidak hanya vertikal tapi juga horizontal dalam bentuk konglomerasi," imbuhnya.
Karena itu lah, menurutnya, penting untuk kembali melihat tujuan dan visi-misi pendirian BUMN untuk menilai apakah tindakan tersebut melanggar ketentuan persaingan usaha atau tidak.
Misalnya, peran BUMN sebagai agent of development di mana mereka harus menjalankan penugasan pemerintah meski dari sisi keuntungan belum jelas dan akan sulit jika dilakukan oleh pihak swasta.
"Dulu saya pernah bergabung di bank BUMN. Waktu itu ada permintaan daerah untuk membuka kantor cabang, cuma secara bisnis tidak menguntungkan. Tapi sebagai BUMN ini harus masuk. Jadi nanti banknya eksis dulu baru bisnis datang. Itu sebagai agent of development," pungkasnya.