Menaker Ungkap 7 Langkah Konkret Atasi Fenomena Pekerja Anak
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) terus berupaya mewujudkan komitmen menghapus pekerja anak. Pada 2008 sampai 2020, Kemnaker menjalankan Program Pengurangan Pekerja Anak dan berhasil menarik 143.456 pekerja anak dari berbagai jenis pekerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menjelaskan, program tersebut bertujuan mengurangi jumlah pekerja anak dari Rumah Tangga Miskin (RTM) yang putus sekolah. Mereka ditarik dari tempat kerja melalui pendampingan di shelter, untuk kemudian diberikan motivasi dan persiapan anak kembali ke dunia pendidikan.
Berbicara di End Child Labour Virtual Race 2021, acara virtual yang diselenggarakan ILO dalam rangka World Day Against Labour, Ida kembali menegaskan komitmen pemerintah yang sejalan dengan ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 tersebut. Selain itu, pemerintah juga memasukkan substansi teknis dari Konvensi ILO dalam UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
"Kami di Kementerian Ketenagakerjaan serius dan tegas dalam melakukan berbagai upaya konkret guna mengurangi pekerja anak di Indonesia," ujar Ida, Sabtu (12/6).
Pada 2021, Kemnaker telah merancang sejumlah langkah mengatasi fenomena pekerja anak, antara lain melalui supervisi ke perkebunan kelapa sawit dan tembakau untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama yang tinggal di daerah pedesaan dan pada kelompok rentan agar peduli terhadap pemenuhan hak anak dan tidak melibatkan anak dalam pekerjaan yang berisiko tinggi.
Selanjutnya, menyusun langkah-langkah koordinasi dan asistensi untuk mengembalikan anak pada pendidikan melalui berbagai pendekatan; memberikan pelatihan pada pekerja anak dari kelompok rentan seperti putus sekolah dan berasal dari keluarga miskin lewat program pelatihan berbasis komunitas dan kesempatan magang; memfasilitasi intervensi bantuan atau perlindungan sosial terhadap kelompok rentan yang terdampak Covid-19 sehingga anak rentan menjadi pekerja.
Kemnaker juga akan melakukan supervisi ke perusahaan yang diduga mempekerjakan anak, melakukan sosialisasi terkait norma kerja anak kepada para pemangku kepentingan, dan terakhir, mencanangkan kawasan bebas pekerja anak di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
Ida mengakui, saat ini masih ada anak-anak Indonesia yang belum mendapatkan hak secara penuh, terlebih bagi mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera.
"Ketidakberdayaan ekonomi orang tua dalam memenuhi kebutuhan keluarga memaksa anak-anak terlibat dalam pekerjaan yang membahayakan, atau bahkan terjerumus dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang sangat merugikan keselamatan, kesehatan, dan tumbuh kembang anak," tuturnya.
Bagi pihak-pihak yang berkontribusi dalam penanggulangan pekerja anak, Ida pun menyampaikan apresiasi tinggi. Dia mengajak instansi terkait dan seluruh komponen masyarakat untuk bersama menghapus pekerja anak.
"Stop pekerja anak! Mari dukung upaya pemerintah dengan meningkatkan kepedulian kepada anak-anak di sekitar kita," kata Ida.
Lebih lanjur, Dirjen Binwasnaker & K3 Haiyani Rumondang menjelaskan, pekerja anak yang telah ditarik akan melanjutkan pendidikan, baik pendidikan formal seperti SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, maupun pendidikan nonformal seperti Paket A, Paket B, Paket C, dan pesantren.
"Program pelatihan telah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di tingkat provinsi, Kementerian Sosial, Dinas Sosial di tingkat provinsi, Kementerian Agama, Kantor Wilayah Agama Provinsi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)," ungkap Haiyani.
(rea)