Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan lebih dari 50 persen perusahaan atau sekitar 700 perusahaan di sektor tekstil sedang kesulitan membayar kredit ke bank. Arus kas keuangan (cashflow) perusahaan tekstil tertekan akibat pandemi covid-19.
"Yang mulai kesulitan arus kas sudah di atas 50 persen. 700-an. Ini skala sedang-besar ya. Ini rata, di Jawa, mulai Banten sampai Jawa Timur," ucap Redma kepada CNNIndonesia.com, Jumat (18/6).
Redma menjelaskan kondisi satu perusahaan dengan perusahaan lainnya berbeda-beda. Beberapa perusahaan ada yang mulai kesulitan membayar pokok bunga, sehingga hanya mampu membayar bunga saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Redma, industri tekstil sudah terkena dampak covid-19 sejak kuartal II 2020 lalu atau saat pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Hal ini karena banyak ritel yang tutup, sehingga permintaan turun.
"Tapi masuk ke pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada kuartal III dan kuartal IV 2020, ritel sudah pada buka dan industri tekstil mulai bergairah lagi," ujar Redma.
Namun, masalah baru kembali datang untuk industri tekstil pada kuartal I 2021. Barang impor mulai membanjiri Indonesia, sehingga produk tekstil lokal kalah bersaing di dalam negeri.
"Barang impor mulai masuk lagi sampai sekarang, ini yang membuat industri tekstil tertekan lagi. Padahal, daya beli masyarakat sudah lumayan," terang Redma.
Redma menjelaskan pihaknya sudah protes ke pemerintah terkait hal ini. Menurutnya, pemerintah telat menerapkan safeguard untuk industri tekstil, sehingga produk lokal tergerus.
"Kalau pemerintah memberikan stimulus untuk menaikkan daya beli tapi barang yang dibeli masyarakat barang impor kan jadi tidak bermanfaat untuk perputaran ekonomi," pungkas Redma.
Menurutnya, Kementerian Perindustrian sering mencanangkan program substitusi impor. "Tapi kan kebijakan perdagangan, kepabeanan ada di instansi lain," pungkasnya.