Bank Indonesia (BI) menyebut perusahaan belum mau menarik kredit baru di bank, meskipun kemampuan membayar mereka membaik. Mereka, menurut BI, masih lebih suka menutup kebutuhan pendanaan dari kas atau simpanan mereka.
Asisten Gubernur sekaligus Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung mengatakan hal ini tercermin dari pertumbuhan kredit korporasi yang masih terkontraksi 4,06 persen sampai Mei 2021.
Padahal, segmen kredit lain sudah mulai tumbuh. Misalnya, kredit konsumer tumbuh 1,39 persen dan kredit UMKM tumbuh 1,7 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Beberapa sudah positif, tapi segmen kredit korporasi masih minus, komersial juga," terang Juda saat berbincang dengan rekan-rekan media secara virtual, Jumat (2/7).
Tingkat kemampuan bayar (Interest Coverage Ratio/ICR) perusahaan, menurut data BI, sudah di atas batas 1,5.
Secara rinci, korporasi di sektor pertanian dengan ICR 3,72, pertambangan 2,93, industri 2,53, hingga jasa sosial 3,4.
Namun, ada beberapa korporasi di sektor konstruksi yang ICR-nya masih 1,02, perdagangan 1,31, pengangkutan 1,15, dan jasa lainnya 0,97.
"Ini (membaik) karena sales-nya membaik, meski ada yang belum tapi agregatnya membaik dari waktu ke waktu," imbuhnya.
Lebih lanjut, Juda mengatakan perusahaan lebih memilih simpanan untuk menutup kebutuhan modal tambahan mereka di era pandemi. Hal ini tergambar dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) korporasi sebesar 18,16 persen.
Detailnya, pertumbuhan deposito mencapai 17,59 persen, giro 17,53 persen, dan tabungan 25,86 persen.
Berdasarkan sektor, pertumbuhan DPK tertinggi ada di sektor agrobisnis mencapai 34,45 persen, industri rokok 18,55 persen, jasa konstruksi 14,72 persen dan lainnya.
Kontraksi Kredit
Secara keseluruhan, BI mencatat pertumbuhan kredit masih terkontraksi 1,28 persen pada Mei 2021. Berdasarkan bank penyalurnya, kontraksi masih terjadi di bank swasta asing, yakni minus 25,9 persen dan bank swasta nasional minus 5,08 persen.
Namun, penyaluran kredit bank BUMN sudah positif 3,57 persen dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) mencapai 6,17 persen. Sementara, berdasarkan segmen, pertumbuhan kredit tertinggi berasal dari sektor UMKM mencapai 1,7 persen.
Bila dibedah, sumbangan pertumbuhan kredit UMKM mayoritas berasal dari kredit usaha skala kecil yang tumbuh 13,31 persen dan menengah 8,58 persen. Sementara itu, pertumbuhan kredit usaha skala mikro masih terkontraksi hingga 22,76 persen.
"Ini good news karena sebelumnya UMKM sangat terdampak, tapi dengan recovery mobilitas kemarin, mereka cepat sekali adjustment. Jadi, UMKM melakukan penyesuaian, dia cepat menggeliat, kelihatan recovery-nya lebih cepat dibandingkan korporasi yang pertumbuhan kreditnya masih negatif," tutur Juda.
Untuk pertumbuhan kredit ke depan, Juda mengatakan bank sentral memandang pertumbuhan akan berada di kisaran 5 persen sampai 7 persen sampai akhir tahun. Proyeksi ini tidak berubah meski ada dinamika lonjakan kasus covid-19 dan PPKM Darurat.
Menurutnya, perkiraan ini tak berubah karena BI mempertimbangkan faktor penawaran (supply) dan permintaan (demand) yang ada. Dari sisi supply, bank sejatinya masih hati-hati dalam memberikan kredit lantaran mempertimbangkan premi risiko dari masing-masing nasabah dan sektor usaha.
Sementara dari sisi demand, perusahaan, UMKM, maupun masyarakat juga masih pikir-pikir untuk mengambil kredit baru dari bank. Apalagi, bunga kredit baru untuk bank cenderung masih tinggi, meski Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) bank sudah mulai turun dengan rata-rata 8,87 persen per Maret 2021.
"SBDK memang sudah turun, tapi premi risiko yang dikenakan kepada nasabah itu ada kenaikan dalam beberapa bulan terakhir sejak covid melanda dan ini masih cukup tinggi. Sehingga penurunan SBDK tidak diikuti dengan penurunan yang cepat di suku bunga kredit baru," terang dia.
"Jadi, ada spread antara SBDK dan suku bunga kredit baru, itu ada kenaikan di beberapa bulan terakhir," lanjut dia.
Kendati begitu, Juda menilai bunga kredit bank secara rata-rata seharusnya masih punya ruang penurunan mencapai 200 basis poin (bps) atau 2 persen lagi dari posisi rata-rata sekarang.
"Ini ruang yang masih cukup besar sekitar 2 persen. Kita akan teruskan upaya untuk turunkan dari sisi transparansi, tapi kita tak batasi harus sekian, itu kan berarti malah interest rate control. Kita lebih ke memperbaiki market dengan transparansi," pungkasnya.
(uli/bir)