Jakarta, CNN Indonesia --
Pengamat Pasar Modal Riska Afriani menilai indeks saham masih akan melanjutkan penguatan secara terbatas di tengah penantian keputusan perpanjangan PPKM Darurat. Pekan lalu, IHSG menguat 0,54 persen, yaitu dari 6.039 menjadi 6.072 pada pekan lalu.
Ia memproyeksikan IHSG bakal melaju di rentang 5.970-6.100 pada pekan ini. Faktor penentunya adalah seberapa panjang perpanjangan akan dilakukan. Apabila hingga akhir Juli yang berarti PPKM Darurat berlangsung hampir sebulan sejak 3 Juli lalu, maka pelaku pasar cenderung merespons positif.
Pasalnya, PPKM Darurat dipandang sebagai kebijakan wajar dalam menanggulangi kasus positif covid-19 dan tingkat kematian yang masih tinggi saat ini. Sebagai informasi, pemerintah mencatat kasus positif bertambah 44.721 dan angka kematian sebanyak 1.093 pada Minggu (18/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski indeks berpotensi menguat, namun ia menyebut ada dua kemungkinan yang bakal terjadi. Pertama, pengetatan mobilitas menahan laju indeks yang sebetulnya bisa naik lebih lebih tinggi lagi bila tak ada ledakan kasus positif yang diikuti PPKM Darurat.
Kedua, pelaku pasar sudah mengantisipasi kejatuhan yang terjadi pada tahun lalu saat pasar panik jual. Karenanya, pasar sudah melakukan penyesuaian ekspektasi saat dilakukan pengetatan.
Toh, kata Riska, ini bukan pertama kalinya dilakukan pengetatan mobilitas. Selain itu, baik pemerintah maupun pengusaha sudah paham langkah yang harus diambil ketika terjadi ledakan kasus.
Riska semakin positif melihat arus modal masuk dari asing yang masih deras mengalir. Pekan lalu, asing mencatatkan pembelian senilai Rp1,89 triliun.
[Gambas:Video CNN]
"Saya melihat pasar sudah mengantisipasi kejatuhan atau apa yang terjadi di tahun lalu, agar tidak terjadi lagi di tahun ini. Indeks mampu ditahan karena ada antisipasi dan pelaku pasar sudah tidak shock (terkejut) seperti awal PSBB," bebernya kepada CNNIndonesia.com, Senin (19/7).
Namun, kekhawatiran tentu terus mengintai. Di satu sisi, investor akan tetap memperhitungkan dampak perpanjangan PPKM Darurat terhadap pertumbuhan ekonomi yang tahun ini direvisi lebih rendah dibanding ekspektasi di awal tahun.
Di sisi lain, bila PPKM Darurat diperpanjang lebih dari akhir Juli, Riska melihat akan ada skenario yang berbeda, pasar akan merespons negatif bila pengetatan berlangsung lebih dari sebulan.
Tidak hanya pengusaha kecil yang menjerit karena pemasukan mereka terganggu, para emiten pun akan tercekik dan harus mulai menghitung bantalan cadangan kas yang ada.
Seperti dana darurat individu yang terus terkuras tanpa pendapatan masuk, kas perusahaan pun bakal menipis. Kalau sudah seperti kesulitan kas, maka opsi yang bakal membebani keuangan perusahaan seperti berutang bakal jadi jalan keluar.
"Perpanjangan PPKM Darurat, asal jangan lebih dari akhir Juli. Kalau sampai Agustus, respons pasar bisa negatif," jelasnya.
Pada pekan ini, Riska menyebut pelaku pasar dapat memperhatikan rilis acuan suku bunga Bank Indonesia (BI), rilis data klaim tunjangan pengangguran yang rilis setiap Kamis waktu setempat, dan data penjualan rumah AS (existing home sales).
Untuk saham pilihan pekan ini, Riska memproyeksikan pasar akan ditopang oleh variasi saham LQ45 dan saham lapis dua (second liner).
Rekomendasinya, cicil beli saham LQ45 yang sebelumnya dilepas pasar, namun mulai menunjukkan pembalikan arah, seperti BBRI, BBNI, BMRI, TLKM, ASII, dan ICBP.
Sedangkan untuk saham lapis dua, ia merekomendasikan saham PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS).
Selain itu, di tengah kenaikan harga komoditas, seperti CPO dan batu bara, ia menilai imbas kenaikan dapat dimanfaatkan oleh investor untuk jangka pendek. Saham pilihannya adalah PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP), serta PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI).
Lampu sorot yang dulunya didominasi oleh saham berkapitalisasi besar (big caps) mulai bergeser digantikan saham-saham teknologi atau digital. Hal ini menjadi ancaman bagi saham big caps karena terbatasnya dana yang ada di pasar saham.
Analis Pasar Saham Ellen May menyebut saham digital kini menjadi primadona trader dan investor. Tidak hanya perusahaan murni digital saja yang dilirik, perusahan konvensional yang melakukan transformasi digital pun melesat.
Ambil contoh, saham PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) yang fundamental keuangannya tidak sementereng para big caps, namun harga sahamnya melejit hingga 900 persen sepanjang tahun ini.
Saham MPPA mulai dilirik seiring dengan strategi perusahaan memperkuat bisnis basis digitalnya dengan bekerja sama dengan GoTo. Tercatat, Gojek lewat PT Pradipa Darpa Bangsa membeli 4,7 persen saham MPPA.
Di sisi lain, lima big caps terbesar saat ini, yakni BBCA, BMRI, BBRI, TLKM, dan ASII kompak turun sepanjang tahun ini. BBCA, BMRI, BBRI, dan TLKM turun bervariasi dengan rata-rata sekitar 10 persen sepanjang tahun ini. Sedangkan, ASII terjerembab turun nyaris 20 persen.
Kendati begitu, menurutnya, bukan berarti para pemain lama ini tidak memiliki rencana transformasi digital. Kelimanya sedang dalam proses mengembangkan bisnis digitalnya agar lebih matang. Berikut ulasannya:
1. Bank Central Asia (BBCA)
Ellen May mengatakan BBCA merupakan perusahaan yang memiliki inovasi tinggi. Sejak 2017, perseroan sudah memiliki modal ventura senilai Rp200 miliar bernama Central Capital Ventura. Kini, modal ventura itu sudah memiliki beberapa portofolio startup teknologi, seperti, OY!, Qoala, Airwallex, Akseleran, Klik ACC, Agate, Sinbad, Railsbank, Wallex, Julo, dan lainnya.
Selain itu, BBCA telah merampungkan akuisisi 2 bank digital, yakni Bank Royal dan Rabobank Indonesia pada 2019. Rabobank Indonesia dimerger dengan anak usahanya Bank BCA Syariah, sedangkan Bank Royal diolah jadi Bank Digital BCA yang sudah meluncurkan lewat aplikasinya bernama blu.
Total investasi BBCA untuk akuisisi dua bank itu senilai Rp1,6 triliun. Dengan melahirkan Bank Digital BCA, perseroan diharapkan bisa bersaing dengan Bank Jago yang memiliki ekosistem dari GoTo.
"Bank Digital BCA bakal mengoptimalkan ekosistem yang ada di BCA sekitar 400 ribu merchant yang mungkin juga bersinggungan dengan ekosistem GoTo," terang dia lewat riset, dikutip Senin (19/7).
2. Bank Mandiri (BMRI) dan Bank Rakyat Indonesia (BBRI)
Ellen menjabarkan bahwa selain BBCA, BMRI dan BBRI juga mengembangkan bisnis modal ventura guna berkolaborasi bersama perusahaan teknologi yang diberikan pendanaan lewat perusahaan modal venturanya tersebut.
Bank Mandiri membuat Mandiri Capital Indonesia pada 2015 silam. Kini, perusahaan modal ventura itu sudah memiliki beberapa portofolio investasi startup teknologi, seperti, Mekari, Cashlez, Amartha, Privyid, PTEN, Gojek, Halofina, Bukalapak, Koinworks, Iseller, Investree, LinkAja, Crowde, dan Yokke.
Begitu juga dengan BRI Ventures yang baru didirikan pada 2019. Kini, BRI Ventures sudah berinvestasi di beberapa pinjaman online (P2P) dan startup fintech lainnya, seperti, Tanihub, Ayoconnect, Linkaja, Modalku, Investree, Nium, Payfazz, Bukalapak, dan Awantunai.
Lalu, dalam investasi ke Bukalapak, Mandiri Capital dan BRI Ventures masuk dalam putaran pendanaan Bukalapak senilai Rp3,27 triliun yang dipimpin oleh Microsoft, GIC, dan Emtek.
Menurut prospektus IPO Bukalapak, BRI ventures memegang 181,04 juta lembar saham Bukalapak, sedangkan Mandiri Capital Indonesia memegang 53,24 juta lembar saham Bukalapak.
Ellen menyatakan bila dihitung menggunakan rentang bawah harga IPO Bukalapak senilai Rp750 per saham, nilai yang dimiliki Mandiri Capital senilai Rp39,93 miliar, sedangkan BRI Ventures senilai Rp135,78 miliar.
3. Telkom Indonesia (TLKM)
Meski Telkom sempat didera isu zona nyaman dan minim inovasi karena mayoritas laba bersih didapatkan dari Telkomsel, namun diam-diam perusahaan juga punya modal ventura, yakni MDI Ventures yang memiliki 54 portofolio startup yang didanai mulai dari Si Cepat, Kredivo, Cermati, dan lainnya.
Di luar MDI Ventures, Telkom juga berinvestasi di Gojek via Telkomsel. Nilai investasinya ke Gojek menembus Rp6,4 triliun dalam dua tahap. Pada tahap pertama, Telkomsel menggelontorkan Rp2,1 triliun pada 2020, sedangkan tahap kedua senilai Rp4,3 triliun pada 2021.
Ellen menyebut kabarnya Telkom sedang menyiapkan platform PaDi alias Pasar Digital. Rencana pengembangan itu pun didukung pindahnya salah satu pendiri Bukalapak Fajrin Rasyid ke Telkom.
Sebagai catatan, Blanja.com adalah e-Commerce Telkom yang dikembangkan lewat kerja sama dengan e-Bay. Namun, secara GMV, pencapaian Telkom kalah jauh dibandingkan dengan Tokopedia, Shopee, Lazada, maupun Bukalapak.
4. Astra International (ASII)
Harga ASII memang lagi turun, tapi menurut Ellen, bukan berarti perseroan tidak melakukan transformasi digital. Untuk produknya, ASII fokus mengembangkan produk digital yang tidak jauh dari otomotif, tetapi juga di sektor keuangan.
Misalnya, ASII sudah membangun beberapa produk digital seperti, SEVA, Sejalan, Movic, CariParkir, AstraPay, Moxa, Digiroom, dan lainnya. Lalu, untuk produk kolaborasi, Astra bekerja sama dengan Welab untuk membuat fintech bernama MauCash.
Kemudian, untuk investasi ASII menggelontorkan sekitar US$250 juta pada Medio dan Gojek pada 2018-2019. Saat itu, valuasi Gojek sekitar US$3 miliar-US$5 miliar. Tak hanya investasi, Astra juga berkolaborasi dengan Gojek untuk membuat Gofleet pada 2019.