Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menuturkan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah pada 2022 mendatang yakni 5 persen hingga 5,5 persen tidak mudah. Alasannya, kondisi ekonomi di dalam negeri maupun global diprediksi masih lesu tahun depan.
"Berarti untuk mengejar angka 5 persen, 6 persen (5 persen-5,5 persen) itu tidak mudah buat Indonesia, melihat dari situasi global maupun situasi di dalam domestik sendiri," ujarnya dalam Webinar Outlook Perekonomian Global dan Indonesia, Jumat (20/8).
Dari domestik, lanjutnya, ada beberapa evaluasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi. Pertama, mekanisme belanja pemerintah masih seperti kondisi normal alias business as usual.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, pemerintah sudah menggelontorkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp695,2 triliun pada 2020 dan Rp744,75 triliun tahun ini.
"Kita anggap itu bagus dan bisa membantu semua pihak. Tapi yang menjadi persoalan adalah, pengeluaran pemerintah yang menjadi motor penggerak itu ketika harus dibelanjakan modelnya sama dengan ketika kondisi normal. Jadi, persetujuan kemudian masuk dulu ke departemen baru belanja," paparnya.
Ia menilai mekanisme tersebut menjadi penyebab lambatnya realisasi dana PEN. Menurutnya, pemerintah perlu mengevaluasi pencairan PEN lantaran menjadi motor penggerak perekonomian di tengah pandemi.
"Artinya, belanja sudah ada uangnya, (tapi) belanjanya tidak bisa begitu. Nah, ini PR menurut saya kan kalau ini tidak diperbaiki sistemnya sampai 2022 akan jadi masalah besar, bahwa dana pemerintah ini tidak bisa digunakan sebagai motor penggeraknya," imbuhnya.
Kedua, proses pengalihan (refocusing) anggaran memakan waktu cukup lama, padahal pandemi sangat dinamis.
"Pengalihan anggaran itu harus pakai revisi, revisi saja butuh 2 bulan, 3 bulan akibatnya juga berpengaruh terhadap pengeluaran," imbuhnya.
Ketiga, banyak stimulus yang belum tepat dengan kondisi di lapangan. Aviliani mencontohkan stimulus dana pemerintah ke bank yang diberikan selama pandemi ini dengan tujuan bank bisa meningkatkan penyaluran kredit.
Sayangnya, perekonomian masyarakat lesu tidak ada permintaan kredit ke bank, sehingga dananya pun menganggur di kas bank.
"Nah, ternyata belum ada yang minta kredit, akibatnya apa dananya nganggur," ujarnya.
Terakhir, ia meminta pemerintah memperbaiki porsi anggaran belanja. Pasalnya, ia mengatakan saat ini anggaran belanja pemerintah pusat paling besar dialokasikan untuk membayar bunga utang, sementara anggaran untuk publik menyusut.
"Ini menjadi evaluasi untuk pengeluaran pemerintah, baik pusat, daerah, maupun dana desa, sehingga nanti kita bisa lebih memperbaiki. Karena pengeluaran pemerintah memang enggak besar mungkin hanya 8 persen sampai 10 persen dari PDB, tapi dia menjadi penggerak utama dalam stimulus," ujarnya.