Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,42 persen, bertengger di posisi 6.126 pada pekan lalu. Pelaku pasar asing mencatatkan beli bersih senilai Rp1,27 triliun.
Pengamat Modal Riska Afriani menyebut perdagangan pekan lalu relatif stabil, meski masih dibayangi oleh isu tapering The Fed. Ia juga menilai IHSG yang berhasil mempertahankan posisinya di level 6.100an, telah meningkatkan kepercayaan investor untuk memarkirkan dananya di pasar modal dalam negeri.
Dia memproyeksikan perdagangan pekan ini tidak akan jauh berbeda dengan pekan lalu. Indeks masih akan melanjutkan penguatan dan diwarnai oleh sentimen senada. Misalnya, perkembangan isu tapering off, perkembangan kasus covid-19, termasuk kelanjutan penerapan PPKM level atau berjenjang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Di sisi lain, ia menyebut indeks saham bakal ditopang oleh optimisme pelaku pasar di tengah pelonggaran aktivitas ekonomi, terutama di Pulau Jawa dan Bali.
Riska menilai sejak pekan lalu, investor melihat momentum kebangkitan industri dan ritel. Meski tak seketika bangkit, namun ia menyebut mulai meredanya kekhawatiran masyarakat, serta bergeraknya aktivitas ekonomi bakal mampu mendongkrak indeks pekan ini.
Ia menambahkan bahwa efek isu global yang sebelumnya membuat investor cenderung wait and see pun bakal berkurang. "Misal kita lihat pembelian bersih asing seminggu lalu Rp1,27 triliun. Ini artinya asing memusingkan (isu global)," katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (6/9).
Selain itu, ia menyebut pernyataan Bank Indonesia (BI) baru akan menaikkan suku bunga acuan di akhir tahun sebagai respons dari tapering off The Fed juga dilihat sebagai sentimen positif oleh pasar.
Riska mengatakan isu dalam negeri lain yang juga menjadi bantalan IHSG adalah kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memperpanjang restrukturisasi kredit hingga 2023 mendatang.
Riska melihat langkah tersebut bakal memberi sektor riil napas lebih panjang seiring dengan pemulihan ekonomi. Dengan melonggarkan kewajiban utang setahun lagi, ia menyebut pelaku usaha memiliki keleluasaan untuk memutar dananya sebagai modal produktif. Toh, pemulihan di sektor riil pun membutuhkan waktu.
Diketahui, OJK mengumumkan perpanjangan restrukturisasi dari semula berakhir pada 31 Maret 2022 menjadi 31 Maret 2023. Perpanjangan ini berlaku bagi bank umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BPR Syariah.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan kebijakan ini diambil untuk meringankan beban nasabah di tengah pandemi covid-19. Selain itu, untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.
"Untuk menjaga momentum itu dan memitigasi dampak dari masih tingginya penyebaran covid-19, maka masa berlaku relaksasi restrukturisasi kredit kami perpanjang hingga 2023," ucap Wimboh dalam keterangan resmi, Kamis (2/9).
Seperti pisau bermata dua, ia menyebut kebijakan terkait bakal menimbulkan polemik tersendiri untuk sektor perbankan. Artinya, pemasukan perbankan dari kredit pinjaman bakal tertunda, sehingga pertumbuhan pendapatan bunga pinjaman boleh jadi mandek.
Kendati begitu, ia menyebut sektor perbankan masih optimis ditopang kredit baru. Ini tercermin dari target pertumbuhan kredit rata-rata perbankan yang relatif optimis.
"Tujuan pemerintah cukup baik memberi kelonggaran di tengah pandemi. Saya rasa untuk perbankan cukup baik, karena biasanya sektor ini mengikuti pertumbuhan ekonomi," imbuhnya.