Elsam Sebut Beberapa Masalah Pinjol Ada di DPR dan Bocor Data
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Alia Yofira mengungkapkan masalah terkait pinjaman online (pinjol) atau fintech pinjam meminjam yang muncul di masyarakat berasal dari berbagai faktor. Salah satunya peredaran data masyarakat yang diperjualbelikan di pasar gelap.
"Kemarin ada peristiwa kebocoran data, lalu apa sih hubungannya kebocoran data dengan pinjol? Ternyata aplikasi fintech ilegal ini membangun user based mereka berdasarkan data yang bocor dan beredar di dark web," ujar Alia saat konferensi pers virtual, Jumat (10/9).
Data yang bocor ini, kata Alia, biasanya tidak hanya dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab atau tidak dikenal, tapi juga ada yang berasal dari penyalahgunaan data dari perusahaan atau lembaga tertentu yang terdaftar secara resmi.
"Ini yang membuat makanya kita sering dengar ada orang yang tidak meminjam pinjol pun tiba-tiba mendapat tagihan dari pinjol, yang kalau tidak diganti dampaknya diancam," ucapnya.
Selain peredaran data di pasar gelap, Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirati mengatakan masalah pinjol juga berasal dari perjanjian pinjam meminjam yang tidak berkedudukan setara antara peminjam dan perusahaan pinjol. Ternyata setelah dilihat, isi perjanjian memang memberatkan peminjam, namun sudah terlanjur diteken.
Lalu, ada pula masalah dari sisi ketentuan bunga pinjaman dan biaya administrasi yang tinggi. Dari berbagai aduan yang masuk ke LBH, Jeanny mengatakan ada peminjam yang dikenakan biaya administrasi sampai 30 persen dari pinjaman.
"Bunganya juga sangat tinggi per hari dan tanpa batasan. Misalnya mencapai 4 persen per hari. Kalau dengar 4 persen mungkin kecil, bank bisa 12-13 persen. Tapi itu per tahun, sedangkan ini bisa kena 4 persen per hari," ungkap Jeanny.
Kemudian, masalah juga kerap muncul dari pengambilan dan pengumpulan data peminjam yang tanpa batasan. Misalnya, pinjol bisa mengakses foto di galeri ponsel peminjam, kontak, dan lainnya.
"Ini yang sering kali kemudian disebar ke teman-teman peminjam, ke medsos, dan ini tidak ada batasannya," imbuhnya.
Masalah lain biasanya berasal dari cara penagihan yang tidak wajar, seperti dengan pengancaman, penipuan, penyebaran data pribadi, bahkan pelecehan seksual. Hasil survei aduan di LBH mencatat 72,08 persen pengguna pinjol merupakan perempuan, di mana 22 persen di antaranya mengalami kekerasan.
Selanjutnya, minim perlindungan, penyelesaian masalah, hingga penjatuhan sanksi dari lembaga negara, termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab, OJK hanya menindaklanjuti aduan dari peminjam yang meminjam dana di pinjol legal atau terdaftar dan berizin dari regulator.
"Padahal apa yang tidak terdaftar itu bukan kewenangan OJK? Itu kalau melihat aturan padahal OJK punya tanggung jawab sama semua (perusahaan) jasa keuangan, seharusnya tidak ada kotak-kotak tidak terdata," tuturnya.
Terakhir, menurutnya, masalah pinjol kerap muncul karena minim peran dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasalnya, lembaga legislatif sampai sekarang belum juga mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU DPD).
"Masalah pinjol hanya satu dari banyak masalah data pribadi di Indonesia, selain soal bocor data Tokopedia, bocor data KTP e-HAC, kartu vaksin, dan ini semua bisa dikatakan karena minimnya perlindungan data pribadi di Indonesia. Ini menunjukkan praktik keabsenan negara dan DPR belum sahkan RUU PDP," ujarnya.
Lebih lanjut, Jeanny membagi cara menyelesaikan permasalahan di pinjol. Pertama, peminjam harus tetap melunasi pinjaman.
Kedua, kalau tidak bisa maka peminjam bisa mengajukan restrukturisasi dan penjadwalan ulang pelunasan. Ketiga, bila ada ancaman atau tindakan yang melanggar hukum lainnya, maka segera lapor ke pihak berwenang, seperti Kepolisian.
"Kalau ada pidana, langsung laporkan ke polisi," pungkasnya.
(uli/agt)