Ini bukan fiksi atau dongeng. Tapi kejadian riil. Kejadiannya juga bukan di negara orang lain, tapi di negara kita tercinta, Indonesia. Dalam beberapa hari terakhir publik disuguhi oleh sikap tidak elok, yakni saling berbantah pejabat publik antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.
Pemicunya adalah harga jagung, terutama buat pakan, naik tinggi.
Sejak awal tahun hingga Agustus 2021, kenaikan harga jagung hampir 30% dengan kenaikan tertinggi pada Juli-Agustus. Peternak ayam dan telur pun menjerit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jagung merupakan komponen utama dalam industri pakan. Dalam pakan unggas, sekitar 50%-55% berasal dari jagung. Di sisi lain, pakan merupakan komponen utama dalam industri perunggasan, mengambil porsi sekitar 70% dari ongkos produksi. Karena itu, tinggi-rendahnya harga jagung akan menentukan tinggi-rendahnya harga daging dan telur ayam.
Ketersediaan jagung yang pasti dengan harga yang terjangkau merupakan pilar penting terciptanya industri perunggasan yang efisien, kompetitif dan berdaya saing.
Seharusnya, setelah Presiden Joko Widodo mengundang peternak ayam dan petelur ke Istana, 15 September 2021, urusan harga jagung selesai. Ihwal bagaimana harga jagung harus Rp4.500/kg, sesuai permintaan Presiden dan Permendag No. 7/2020, jadi urusan Menteri Perdagangan M Lutfi dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Presiden menjanjikan masalah selesai seminggu. Waktu berlalu, bahkan hampir dua minggu, harga jagung masih tinggi. Dua kementerian yang mestinya bergandeng tangan justru berdebat.
M Lutfi mempertanyakan keberadaan stok jagung yang melimpah, mencapai 2,3 juta ton, seperti klaim Kementerian Pertanian. Lutfi menunjuk indikator harga: jika jagung melimpah mestinya harga jagung rendah. Kenyataannya, harga jagung di pasar tetap tinggi: sekitar Rp6.000/kg. Harga ini lebih tinggi dari posisi Agustus yang mencapai Rp 5.780/kg.
Menurut Kementerian Pertanian, jagung 2,3 juta ton itu tersebar 31% di gudang pabrik pakan, 32% di pengepul, 18% di agen, sisanya di usaha lain hingga eceran rumah tangga.
Harga mahal, karena biaya distribusi dari produsen ke peternak tinggi.
Mana yang benar? Buat publik, juga buat peternak, tak penting mana yang benar dan mana yang salah. Akan tetapi, debat di ranah publik tentang data oleh anggota kabinet tentu tidak sehat.
Debat telah menjadi tontonan yang tidak elok bagi rakyat. Data adalah pangkal semua kebijakan publik di mana pun di dunia, tak terkecuali di Indonesia. Debat berkepanjangan ini menandai ketiadaan data sahih sebagai rujukan kebijakan. Jika data yang digunakan sebagai dasar membuat kebijakan publik salah, kebijakan yang dibuat potensial keliru.
Jika kebijakan yang keliru itu menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti stok jagung pakan, tentu potensial menyengsarakan banyak peternak.
Sengkarut ketersediaan jagung untuk industri perunggasan, khususnya kebutuhan pakan, salah satunya berpangkal dari produksi jagung domestik yang kemungkinan besar mengalami over-estimasi. Ada segepok alasan untuk mendukung dugaan over-estimasi ini.
Pertama, klaim surplus sulit diverifikasi. Jika benar produksi surplus, seharusnya harga tertekan ke bawah. Yang terjadi justru harga jagung terus meroket. Jika kenaikan harga terjadi 2-3 hari, amat mungkin ada ulah spekulan mengambil untung. Tapi jika kenaikan terjadi berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, ini pertanda pasokan bermasalah.
Kedua, akurasi metode pengumpulan data produksi jagung sulit diuji secara statistik.
Data produksi jagung dihasilkan dari perkalian luas panen dengan produktivitas. Data produktivitas dikumpulkan melalui survei statistik pada petak sawah dengan metode probability sampling lewat petak ubinan. Jadi ada sistem objective measurement.
Sebaliknya, data luas luas panen dikumpulkan lewat cara penaksiran melalui sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan pandangan mata di sawah. Data tidak dikumpulkan lewat survei statistik. Dalam teori statistik, data ini termasuk catatan administrasi.
Dalam kasus padi, setelah pengumpulan data diubah dari metode lama seperti pada jagung saat ini dengan metode Kerangka Sampel Area, over-estimasi produksi pada tahun 2018 mencapai 46,85%.
Boleh jadi, selisih produksi jagung antara kenyataan dengan yang dilaporkan melebihi over-estimasi pada padi. Berbeda dari padi, jagung tidak memiliki lahan baku sawah. Selisih data jagung inilah yang menyulut kontroversi terkait impor disertai ekspor, surplus yang sulit dibuktikan, dan harga yang terus naik.
BPS pun sampai saat ini belum menuntaskan metode pengumpulan data jagung.
Petani Petani jagung tentu berharap kenaikan harga jagung bisa dinikmati. Namun yang terjadi di lapangan sepertinya tidak demikian.
Setidaknya ada dua faktor yang diduga jadi penyebab harga jagung naik. Pertama, siklus produksi, surplus dan defisit bulanan. Setelah surplus produksi bulanan pada Januari-Maret, mulai April hingga saat ini terjadi defisit bulanan. Diperkirakan terdapat defisit 300 ribu ton pada September yang akan berlangsung hingga Desember nanti. Defisit ini membuat harga naik.
Harga yang baik ini tak dinikmati petani karena panen telah berlalu dan stok jagung --jika ada-- tak di petani.
Kedua, harga jagung internasional. Pada Januari 2021, harga jagung mencapai US$203/ton (fob), naik menjadi US$274/ton dan menurun lagi hingga US$198/ton pada September 2021.
Meskipun harga jagung di pasar dunia turun, harga jagung di pasar domestik bertahan tinggi. Tampaknya terjadi transmisi harga asimteris: ketika harga jagung di luar negeri naik (Januari - Mei), harga di dalam negeri ikut naik.
Sebaliknya, ketika harga luar negeri turun (Juni-September) harga domestik tidak turun.
Masalah jadi rumit karena harga jagung yang mahal berdampak pada peternak ayam. Pada saat yang sama, peternak juga dihadapkan pada harga daging dan telur yang anjlok. Penyebabnya, diduga karena permintaan yang turun signifikan akibat pandemi.
Dalam beberapa bulan terakhir restoran tutup, hotel tidak beroperasi, warung tidak buka, aneka katering dan pesta dilarang -- seiring kebijakan PPKM. Semua itu secara simultan membuat permintaan terhadap daging dan telur ayam menurun.
Jika dilihat secara parsial, pertanian jagung dan peternakan dalam posisi bertentangan. Petani jagung ingin harga jagung mahal. Sebaliknya, peternak dan usaha peternakan ingin harga jagung murah.
Akan tetapi, jika dilihat secara integral, keduanya saling memperkuat. Produksi jagung domestik yang kontinyu dan terjangkau harganya akan berkontribusi besar bagi terbangunnya industri peternakan yang kompetitif.
Karena itu, pembangunan silo sebagai infrastruktur penyimpanan jagung bukan hanya kebutuhan petani, tapi juga buat peternak. Lalu, investasi pabrik tepung telur, pembangunan rumah potong ternak plus cold storage penyimpan karkas ayam bukan hanya penting bagi peternak, tapi juga buat petani jagung.
Dalam konteks ini, tak relevan dua kementerian berdebat. Keduanya bisa jalan bersama.
(vws)