Evergrande gagal menjual saham pengendali senilai US$2,6 miliar atau Rp36,8 triliun (Kurs Rp14.188 per dolar AS) di unit manajemen bisnis properti ke pesaing mereka, Hopson.
Kegagalan terjadi setelah mereka memutuskan untuk mengakhiri perjanjian jual beli. Melansir dari CNN.com, Jumat (22/10), Evergrande dan Hopson gagal menemukan kesepakatan atas rencana jual beli itu.
Yang terjadi justru mereka berdua saling menyalahkan karena tak menemukan kesepakatan. Dari sisi Evergrande, mereka menuding Hopson tak memenuhi prasyarat untuk membuat penawaran umum saham Evergrande Property Services sebagai calon pembeli.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Sementara, Hopson mengklaim sudah siap untuk menyelesaikan kesepakatan jual beli, namun, pihak lain berusaha mengubah ketentuan perjanjian.
Kegagalan ini menjadi berita buruk bagi Evergrande. Pasalnya, perusahaan butuh dana besar untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo pekan ini.
Analis Pasar Senior Asia Pasifik Jeffrey Halley mengatakan Evergrande kesulitan membayar bunga obligasi sebesar US$83,5 juta pada 23 September 2021 lalu yang masa jatuh temponya diperpanjang sampai akhir pekan ini.
Halley menyebut kegagalan Evergrande melakukan pembayaran bunga utang dapat memicu gagal bayar pada instrumen lain. Hal ini akan membuat kreditur Evergrande lain untuk meminta uang mereka kembali.
"Mereka akan kehabisan ruang gerak di sini," kata Halley.
Gagal bayar, sambung Halley, akan memberikan kejutan untuk pasar saham pada perdagangan pekan depan. Hal itu juga akan membuat pemerintah China mengambil tindakan.
"Pemerintah China diam tentang masalah ini. Ini mungkin memaksa tangan pemerintah pusat untuk akhirnya bertindak langsung," jelas Halley.
Meski begitu, pihak berwenang telah mencoba menenangkan pasar beberapa waktu terakhir. Pekan lalu, bank sentral China mengatakan Evergrande telah salah mengelola bisnis, tetapi risiko terhadap sistem keuangan dapat dikendalikan.
Wakil Perdana Menteri China Liu He mengatakan tren industri properti di China tak akan berubah. Kebutuhan modal pengembang akan tetap terpenuhi.
Diketahui, Evergrande berjuang pulih dalam beberapa pekan terakhir. Perusahaan berupaya dengan menjual asetnya, seperti sebagian saham di kendaraan listrik dan bisnis layanan properti.
Namun, belum ada kesepakatan dengan pembeli hingga saat ini. Dengan demikian, belum ada jalan keluar dari masalah keuangan yang melanda Evergrande.
Evergrande dilaporkan terlilit utang US$300 miliar atau Rp4.277 triliun (asumsi kurs Rp14.256 per dolar AS) dan terancam bangkrut. Raksasa real-estate asal China tersebut mengisyaratkan ketidakmampuan perusahaan untuk membayar utang.
Sebagian pihak khawatir masalah raksasa real estate China ini akan seperti Lehman Brothers, raksasa perbankan AS yang bangkrut pada 2008 dan memicu krisis keuangan global.