Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengklaim nilai defisit perdagangan antara Indonesia dengan China turun dari US$18 miliar pada 2019 menjadi US$1,5 miliar pada 2021. Artinya, defisit dagang turun US$16,5 miliar atau 91,66 persen dalam dua tahun terakhir saat pandemi covid-19.
"Ini karena ekspor kita lebih banyak ke baja," ungkap Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (18/11).
Tak hanya dari ekspor baja, Bahlil menilai penurunan defisit dagang dengan China juga terjadi karena Indonesia mampu menambah nilai ekspor melalui hilirisasi. Dengan begitu, komoditas yang diekspor bukan lagi barang mentah, tapi barang setengah jadi yang punya nilai tambah, sehingga harganya meningkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
"Ini bagian dari hilirisasi nikel juga. Ke depan, kita akan hilirisasi terhadap bauksit, tembaga, dan sebagainya," imbuhnya.
Di sisi lain, ia mengatakan hilirisasi tidak hanya memberi dampak positif pada kinerja neraca dagang Indonesia, namun juga pengembangan ekonomi hijau. Sebab, melalui aktivitas ini, pemerintah bisa menghasilkan energi yang lebih ramah lingkungan.
Misalnya, saat ini pemerintah tengah mengembangkan hilirisasi nikel sebagai bahan baku baterai listrik. Harapannya, hal ini juga akan dibarengi dengan pengembangan industri kendaraan listrik di dalam negeri.
"Indonesia harus ambil peran penting untuk dorong green energy, green economy termasuk industri yang mendekatkan diri pada pola lingkungan yang baik. Apalagi ke depan hampir semua negara kampanyenya adalah green, tapi kita tidak boleh didikte negara lain juga," ucapnya.
Untuk itu, ia ingin aliran investasi untuk industri hilirisasi dapat terus meningkat di tanah air. Sebab, investasi juga berdampak positif terhadap pertumbuhan industri, penciptaan lapangan kerja, dan kedaulatan ekonomi Indonesia.