Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 35,04 poin atau 0,53 persen ke level 6.693 pada perdagangan akhir pekan lalu. Investor asing mencatatkan beli bersih atau nett buy di seluruh pasar sebesar Rp141,50 miliar.
Dalam sepekan, indeks saham sudah menguat sebanyak dua kali dan melemah tiga kali. Performa indeks melemah sebesar 0,12 persen selama sepekan terakhir.
Pelaksana Harian Sekretaris Perusahaan Bursa Efek Indonesia Yulianto Aji Sadono menyebut peningkatan terjadi pada rata-rata frekuensi transaksi bursa selama sepekan, yaitu sebesar 5,94 persen menjadi 1,36 transaksi dari 1,28 transaksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian rata-rata nilai transaksi harian bursa selama pekan lalu mengalami penurunan, yakni sebesar 13,09 persen menjadi Rp11,53 triliun dari Rp13,26 triliun.
Kemudian, rata-rata volume transaksi harian bursa juga merosot 7,87 persen menjadi 18,76 miliar saham dari 20,36 miliar saham pada penutupan pekan lalu.
"Penurunan sebesar 0,87 persen terjadi pada kapitalisasi pasar bursa menjadi Rp8,36 triliun dari Rp8,43 triliun pada pekan lalu," terang Yulianto seperti dikutip dari situs IDX, Jumat (14/1).
Pengamat Pasar Modal Riska Afriani memprediksi selama sepekan ke depan, IHSG bergerak di rentang support 6.635 dan resistance 6.749. Pergerakan indeks saham akan diwarnai berbagai sentimen dari dalam maupun luar negeri.
Lihat Juga : |
Dari dalam negeri, ia menilai semakin dekatnya musim pembagian dividen akan menjadi sentimen positif pada pergerakan indeks.
Pembagian deviden sendiri merupakan pembagian laba atau keuntungan perusahaan kepada pemegang saham berdasarkan banyaknya jumlah saham yang dimiliki.
Selebihnya, pasar juga akan wait and see beberapa rilis data ekonomi dari dalam negeri seperti neraca perdagangan Indonesia Desember dan penentuan level suku bunga Bank Indonesia.
Dari luar negeri, kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) yang diumumkan lebih cepat dalam rangka menekan laju inflasi AS yang saat ini cukup tinggi, dapat menjadi sentimen negatif.
Ia menyebut inflasi tahunan AS pada Desember 2021 sebesar 7 persen. Itu merupakan yang tertinggi dalam empat dekade terakhir.
"Lonjakan inflasi AS ini meningkatkan ekspektasi bahwa Bank Sentral AS, The Federal Reserve atau The Fed akan mulai menaikkan bunga lebih cepat yaitu pada Maret 2022," ungkapnya kepada CNNIndonesia.com, Minggu (16/1).
Ia menambahkan, potensi kenaikan suku bunga untuk mengendalikan inflasi tersebut juga akan diperparah oleh lonjakan kasus covid-19 yang masih tinggi di Negeri Paman Sam itu.
Menurut Riska, dalam keadaan seperti itu investor disarankan melirik saham-saham yang memiliki likuiditas tinggi dan kinerja yang bagus untuk melakukan akumulasi bertahap.