PPATK Wanti-wanti Pencucian Uang 5.0: Dari NFT Sampai Kripto
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavanda, menyebut tindak kejahatan pencucian uang kian marak memanfaatkan fitur teknologi.
Ia menyebut menjamurnya metode baru pencucian uang memungkinkan revolusi money laundering dari 'edisi' 1.0 menjadi 5.0.
Menurut dia, era baru ini modus pencucian uang bisa menggunakan mata uang kripto, cloud, NFT, hingga blockchain.
"Mereka menggunakan teknologi terbaru, yaitu token yang tidak dapat dipertukarkan (non fungible token/NFT), bitcoin, atau jenis mata uang kripto lainnya yang menggunakan blockchain teknologi, metaverse," jelas Ivan dalam webinar bertajuk Opportunities,Challenges & Impacts of Utilizing New Tech in Strengthening The AML/CFT Regime, Rabu (23/2).
Ivan menjelaskan evolusi terjadi dari metode sederhana menggunakan rekening bank pribadi atau bisnis sederhana, kemudian beroperasi di yurisdiksi yang berbeda hingga menerapkan instrumen abu-abu dan kurang diatur.
Ia menuturkan bahwa di masa lalu, pelaku biasanya mencuci uang mereka melalui bisnis yang tampaknya sah dan memiliki kantor fisik. Mereka biasanya menyuntikkan 'uang kotor' ke dalam sistem keuangan melalui sektor keuangan konvensional seperti bank, sekuritas, asuransi, bursa, dan sektor keuangan lainnya.
Sedangkan saat pelaku tidak hanya menggunakan bank konvensional, tetapi juga memanfaatkan instrumen non-konvensional lainnya.
Menurut laporan organisasi anti pencucian uang global atau Financial Action Task Force (FATF) pada 2010, metode pembayaran baru termasuk kartu prabayar, layanan pembayaran internet, dan layanan pembayaran seluler.
"Ini baru teknologi pembayaran baru yang memiliki kesamaan, yaitu bersifat non-tatap muka. Sifat ini dimanfaatkan oleh para penjahat untuk menyembunyikan aktivitasnya saat melakukan pencucian uang mereka," jelas dia.
(wel/nva)