Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF Rizal Taufikurahman menyebutkan kenaikan harga minyak dunia akibat serangan militer Rusia ke Ukraina mendongkrak konsumsi RI naik 0,1 persen.
Berdasarkan analisis yang dia buat menggunakan model Global Trade Analysis Project (GTAP), kenaikan konsumsi terjadi karena pemerintah kemungkinan akan mengeluarkan anggaran guna kebijakan yang berpengaruh pada perekonomian.
"Pengeluaran pemerintah dengan perang ini akan naik 0,1 persen. Kemungkinan karena banyak government transfer dari efek perang ini," ujarnya dalam webinar bertajuk Perang, Harga Minyak, dan Dampaknya bagi Ekonomi dan Bisnis di Indonesia', Rabu (2/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyebut kenaikan harga minyak dunia yang tinggi akan berpengaruh terhadap harga BBM. Tapi, pemerintah bisa saja menggelontorkan subsidi untuk BBM agar masih bisa terjangkau oleh masyarakat.
Di sisi lain, ia juga mengatakan kenaikan harga BBM akan mendorong harga komoditas lain. Sebab, harga BBM juga akan meningkatkan biaya logistik dan tentu berpengaruh pada harga komoditas.
"Jadi hampir semua sektor akan naik. Kenaikannya didorong oleh minyak karena minyak itu berpengaruh pada hampir semua sektor," kata Rizal.
Menurut Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Ahmad Heri Firdaus, konflik Rusia-Ukraina secara tidak langsung juga akan berpengaruh pada ekspor dan impor Indonesia.
Ia menyebut ekspor Indonesia akan menurun 0,11 persen, sedangkan impor meningkat 0,04 persen. Turunnya ekspor Indonesia diperkirakan karena dampak dari menurunnya ekspor negara mitra utama Indonesia, seperti China dan AS ke Rusia dan Ukraina.
Maklum, Indonesia selama ini masih mengekspor bahan mentah ke China dan AS yang kemudian oleh negara-negara tersebut dijadikan bahan baku untuk barang ekspor.
"China dan AS sama-sama mengalami penurunan ekspor. Sehingga, permintaan bahan baku dari Indonesia mengalami penurunan," terang dia.
Sementara, Ahmad mengatakan untuk faktor meningkatnya impor Indonesia disebabkan oleh peningkatan harga komoditas energi seperti minyak bumi.
Lebih lanjut, ia menyarankan strategi perdagangan yang bisa dilakukan oleh pemerintah di tengah gejolak konflik Rusia dan Ukraina. Pertama, fokus terhadap negara tradisional ekspor dan pertahankan pangsa pasar dengan lebih banyak mengekspor produk barang konsumsi.
Kedua, diversifikasi ekspor produk yang bernilai tambah ke destinasi utama dan destinasi baru. Ketiga, membuka peluang untuk mengatasi defisit perdagangan dengan Ukraina. Untuk mengatasi defisit tersebut bisa dilakukan dengan melakukan lebih banyak ekspor melalui negara tetangga Ukraina
Keempat, menjalin kerja sama bilateral yang lebih erat dengan negara-negara mitra utama Rusia dan Ukraina. "Jadi kalau kita mau masuk ke negara yang lagi konflik kan kita tidak bisa langsung ekspor ke sana, kita nitip lewat tetangganya," sambung Heri.
Kelima, pemerintah harus memberikan fasilitas dagang untuk memitigasi dampak negatif invasi Rusia.