Harga tandan buah segar (TBS) terjun sekitar 30 persen sampai 50 persen di kalangan petani usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Hal ini diungkapkan oleh Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih seusai perkembangan harga yang terjadi di sentra perkebunan sawit di Riau dan Sumatera Utara.
"Hari ini hasil laporan petani anggota SPI di berbagai daerah seperti Riau, Sumatera Utara, harga TBS sawit Rp1.700 sampai Rp2.000 per kg, sudah terkoreksi ada yang 30 persen, bahkan sampai 50 persen," kata Henry dalam keterangan resmi, Senin (25/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masalahnya, sambung Henry, harga TBS kemungkinan bisa turun lebih dalam karena hasil produksi petani tak bisa diekspor. Menurut perhitungannya, produksi CPO bisa mencapai 46,89 juta ton.
Sementara di sisi lain, konsumsi di dalam negeri cuma 16,29 juta ton.
"Artinya terdapat 30 juta-an ton yang selama ini dialokasikan untuk diekspor," ucapnya.
Ia khawatir stok yang tak terserap bakal menurunkan harga sawit dan kemudian berimbas ke pendapatan petani. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah memberikan kebijakan turunan lain yang bisa menjamin pergerakan harga sawit petani.
Salah satunya agar BUMN memiliki porsi yang besar di bisnis sawit, khususnya produksi strategis seperti CPO hingga bahan bakar minyak (BBM) berbasis minyak nabati. Dengan begitu, industri sawit tidak hanya dikuasai oleh swasta seperti sekarang.
"Perkebunan sawit harus diurus oleh rakyat, didukung oleh pemerintah dan BUMN, bukan oleh korporasi," tekannya.
Ia menilai peran swasta seharusnya pada produk hilir saja, misalnya untuk produksi sabun, kosmetik, dan obat-obatan.
Di sisi lain, ia menyoroti pelanggaran yang kerap dilakukan para perusahaan sawit swasta. Misalnya soal penggunaan lahan dengan status hak guna usaha (HGU) dari pemerintah ke swasta.
"Perkebunan sawit korporasi telah mengubah hutan menjadi tanaman monokultur, menghilangkan kekayaan hutan kita, juga sumber air berupa rawa-rawa, sungai dan sumber-sumber air lainnya. Korporasi sawit juga terbukti telah menggusur tanah petani, masyarakat adat dan rakyat, sampai merusak infrastruktur di daerah," terangnya.
Selain itu, menurutnya, perusahaan sawit swasta juga kerap mengabaikan izin yang ada. Begitu juga setoran pajak kepada negara dan kesejahteraan bagi buruhnya.
Untuk itu, ia meminta pemerintah memberi kebijakan tegas bagi perusahaan sawit swasta. Misalnya dengan memungut pajak ekspor yang nantinya bisa digunakan untuk transisi pengelolaan sawit di dalam negeri.
(uli/agt)