AerCap Holdings, perusahaan penyewaan pesawat terbesar di dunia, kehilangan 113 armada karena sanksi Rusia.
Dilansir dari CNN Business, Rabu (18/5), Pemerintah Rusia menyita armada tersebut sebagai bentuk balas dendam terhadap sanksi dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa.
Penyitaan pesawat dan 11 mesin jet oleh Rusia membuat AerCap terpaksa membayar biaya sebelum pajak sebesar US$2,7 miliar atau setara Rp39,69 triliun (asumsi kurs Rp14,703 per dolar AS).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Kejadian tersebut membuat perusahaan merugi hingga US$2 miliar pada kuartal I 2022. Angka ini berbanding terbalik dengan posisi kuartal I 2021 yang membukukan laba bersih hingga US$500 juta.
Meski begitu, direksi perusahaan menilai laporan kuartal tersebut sebenarnya bukan hal yang buruk. Manajemen justru memproyeksi permintaan global terus meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi dunia.
"Di semua lini bisnis kami, kami melihat peningkatan permintaan, peningkatan pemanfaatan aset kami, dan peningkatan kesehatan keuangan pelanggan kami" ungkap CEO Aengus Kelly.
Para investor setuju dengan pernyataan Kelly. Terbukti, saham AerCap naik 6 persen setelah perusahaan merilis laporan kinerja.
AerCap berhasil mengambil kembali 22 jet dan tiga mesin sebelum disita oleh Rusia. Selain itu, perusahaan telah mengajukan klaim asuransi untuk mendapatkan kembali pesawat yang disita, meskipun beberapa dari klaim tersebut berasal dari perusahaan asuransi Rusia.
Saat ini, AerCap memiliki 1.624 pesawat. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan perusahaan lain.
Bahkan, pesawat yang hilang karena Rusia hanya mewakili kurang dari 5 persen dari total armada Aercap, yang tumbuh lebih besar selama pandemi sejak mengakuisisi perusahaan saingan GECAS dari General Electric (GE).
(tdh/aud)