Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.699 per dolar AS di perdagangan pasar spot pada Selasa (14/6) sore. Mata uang Garuda melemah 17 poin atau 0,12 persen dari Rp14.628 per dolar AS pada Senin (14/6).
Sementara kurs referensi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah di posisi Rp14.729 per dolar AS atau kembali melemah dari Rp14.672 per dolar AS.
Rupiah melemah bersama Thailand baht sebesar 0,17 persen dan ringgit Malaysia sebesar 0,09 persen serta serta won Korea Selatan melemah 0,16 persen.
Sedangkan yen Jepang menguat 0,13 persen, dolar Singapura menguat 0,32 persen serta peso Filipina menguat 0,10 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanya dolar Hong Kong yang stagnan dari dolar AS.
Sedangkan mata uang utama negara maju seperti euro Eropa dan poundsterling Inggris menguat masing-masing 0,62 persen dan 0,26 persen. Sementara itu, Rubel Rusia melemah 1,37 persen dan dolar Australia menguat 0,14 persen.
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan pada penutupan indeks dolar AS, yang menggambarkan perbandingan mata uang Negeri Paman Sam terhadap enam mata uang terkuat dunia, akan melanjutkan penguatan. Bahkan ini mendekati puncaknya dalam dua puluh tahun terakhir.
"(Indeks) dolar AS berdiri tepat di bawah puncak 20 tahun pada hari Selasa," kata dia kepada CNNIndonesia.
Menurutnya, penguatan indeks dolar ini sejalan dengan rilis indeks harga konsumen AS yang melonjak ke level tertinggi dalam empat dekade.
"Ini menyebabkan para pedagang memperkirakan kenaikan suku bunga yang lebih agresif karena Federal Reserve berjuang untuk mengatasi hal-hal yang tidak terduga," jelasnya.
Di sisi lain, Analis DCFX Lukman Leong mengatakan pada penutupan ini mata uang garuda bisa sedikit bernapas. Meski masih tertekan namun tidak akan setinggi pada pembukaan maupun hari sebelumnya.
"Seiring dengan bursa di global yang rebound dari kejatuhan besar di sesi awal," ujarnya kepada CNNIndonesia.
Meski demikian, rupiah masih harus terus memperhatikan berbagai sentimen baik dari dalam negeri maupun global yang bisa kembali menekan.
"Namun sentimen risk off masih kuat oleh kekuatiran akan resesi dan inflasi," ujarnya.