Pertamina Group, baik holding maupun subholding, berkomitmen untuk dapat memenuhi target pencapaian Nol Emisi Karbon atau Net Zero Emission (NZE) pada 2060 melalui dekarbonisasi. Komitmen tersebut disampaikan dalam acara SOE International Conference 2022: Driving Sustainable and Inclusive Growth.
Acara tersebut diselenggarakan sebagai komitmen pemerintah untuk mendukung implementasi aspek environment, social, and government (ESG) dan Sustainability Development Goals (SDGs), khususnya di sektor kesehatan, inklusi keuangan, transformasi digital, dan transisi energi.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, menyampaikan berbagai upaya Pertamina selama ini telah terbukti berhasil menurunkan pengeluaran karbon emisi operasional perusahaan sebesar 29 persen dari 2019 hingga akhir 2021.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama eksisting bisnis kita yang menghasilkan emisi ini sudah kita turunkan, minimal sama dengan target Nationally determined contribution pemerintah. Sejak 2019, kami menghitung berapa penurunan karbon emisi dan di 2021 akhir," jelas Nicke dalam keterangannya, Rabu (19/10).
Di sisi hilir, Pertamina melakukan beberapa program strategis, seperti Langit Biru. Program shifting dari premium ke pertalite ini mampu memberikan kontribusi cukup besar.
Pertamina juga melakukan dekarbonisasi melalui efisiensi pada kilang-kilang dan seluruh blok migas dengan menggunakan kembali gas buang yang ada menjadi energi.
Sementara itu, dalam program transisi ke energi bersih, Pertamina tentunya juga harus mempertimbangkan sumber daya alam yang dimiliki negara.
"Semua bisa diproses menjadi sumber energi. Sumber energi harus berasal dari sumber daya alam yang dimiliki negara," tegas Nicke.
Tak hanya itu saja, Pertamina juga memiliki teknologi carbon capture utilization and storage (CCUS). Melalui teknologi ini, CO2 dapat dimanfaatkan untuk membantu meningkatkan produksi hulu migas.
Nicke menyebutkan, Indonesia memiliki kapasitas reservoir storage CO2 yang besar sekali, sekitar 80 sampai 400 giga ton. Bahkan, jumlah yang bisa dikembangkan ini termasuk kapasitas terbesar di Asia.
"Karena Indonesia negara kepulauan, maka konsepnya bukan lagi interkoneksi. Tapi begitu kita bicara Indonesia Timur, itu melakukan kearifan lokal," pungkasnya.
(rir)