Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan perusahaan migas asal Thailand, PTT Exploration and Production (PTTEP), setuju membayar ganti rugi kasus tumpahan minyak montara senilai Rp2,02 triliun atau 192,5 dolar Australia.
"Atas putusan pengadilan, mereka akan membayar AUD 192,5 juta, atau US$129 juta," katanya dalam Konferensi Pers di gedung Kemenko Marves, dikutip dari detik.com, Kamis (24/11).
Luhut mengatakan uang Rp2,02 triliun itu di luar ganti rugi terhadap kerusakan lingkungan. Uang tersebut merupakan ganti rugi bagi nelayan dan petani rumput laut yang terdampak tumpahan minyak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Luhut berharap uang ini bisa dikelola dengan benar. Ia mengusulkan dibuatkan koperasi untuk kemudian dikelola secara profesional.
"Saya juga usul, mungkin bisa dibuat koperasi nelayan itu sendiri, dikelola secara profesional. Nanti kita bisa mengatasi supaya jangan uang itu hilang," ungkapnya.
Ketua Satgas Penanganan Kasus Tumpahan Minyak Montara Purbaya Yudhi Sadewa menyebut PTTEP hanya mau membayar kepada satu orang dengan nominal ratusan dolar. Namun PTTEP kalah di pengadilan hingga mau berunding dengan Indonesia.
"Di sana PTTEP mau berunding dengan kita, itu nggak gampang juga. Kita ancam juga kalau pemerintah ikut campur, pasti bayarnya tiga kali lipat. Untungnya mereka takut sedikit," jelasnya.
Saat ini tim satuan tugas di NTT sedang mengumpulkan feedback ke masyarakat atas hasil ini. Menurut Purbaya, kemungkinan masyarakat akan setuju dengan jumlah ganti rugi.
Sebelumnya kasus tumpahan minyak Montara pada 21 Agustus 2009 sempat membuat geger. Saat itu, anjungan minyak di lapangan Montara milik PTTEP meledak di lepas landas kontinen Australia.
Tumpahan minyak dengan volume lebih dari 23 juta liter mengalir ke Laut Timor, mencemari wilayah di sekitarnya. Akibatnya lebih dari 15 ribu petani dan nelayan rumput laut terkena dampaknya.
Purbaya sebelumnya memperkirakan kerugian dari kasus ini menyentuh angka hingga 500 juta hingga 600 juta Dolar Australia atau sekitar Rp5,35 triliun- Rp6,42 triliun (kurs Rp 10.700). Itu pun baru kerugian yang terjadi di dua kabupaten yang melakukan class action ke Pengadilan Federal Australia.