Kasus rokok ilegal meningkat pada tahun ini sebanyak 5,5 persen. Angkanya naik dari 2020 lalu yang sebesar 4,9 persen.
Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap sebetulnya, data rokok ilegal di Indonesia dalam lima tahun terakhir tercatat turun. Khusus, untuk tahun ini mencapai 5,5 persen.
"Jumlah pelanggarannya, apakah mereka tidak menggunakan pita cukai, ini makin kecil. Mereka menggunakan pita cukai, tapi palsu. Mereka sebenarnya, tidak membeli pita cukai atau membeli pita cukai bekas," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja di Komisi XI DPR RI, Senin (12/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam data yang dipaparkan Sri Mulyani, jumlah kasus rokok ilegal pada 2014 sebesar 11,7 persen, 12,1 persen pada 2016, 7 persen pada 2018, 4,9 persen pada 2020, dan 5,5 persen pada tahun ini.
Ani, sapaan akrabnya, juga mengungkapkan jumlah penindakan kasus rokok ilegal yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Sebelumnya, hanya 6.300 penindakan pada 2019, namun angkanya meningkat menjadi 19.399 penindakan pada tahun ini.
"Dari sisi nilainya, jumlah nilai (kerugian) yang ditangani dari kurva rokok ilegal ini mencapai lebih dari setengah triliun (Rp548,32 miliar). Jadi, memang frekuensi dan value-nya makin meningkat," tegas dia soal penindakan rokok ilegal.
Ani juga menyoroti dua modus utama rokok ilegal yang masih marak, yakni salah peruntukkan menyumbang 2,9 persen dan salah personifikasi 1,4 persen pada tahun ini. Ia menilai secara sekilas pelaku modus ini menggunakan pita cukai, tapi salah peruntukannya.
Merespons data tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Kamrussamad menyinggung soal peta jalan alias roadmap yang tidak jelas dari Kemenkeu untuk membasmi rokok ilegal.
"Rokok ilegal 5,5 persen di 2022, kapan ini bisa ditekan di bawah angka 3 atau 2 persen? Karena semrawutnya, roadmap-nya itu tidak jelas arah kebijakan, maka selalu rokok ilegal berkisar di atas 5 persen. Inilah bagian dari kebocoran negara," tandasnya.