Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah akan mengajukan banding atas kekalahan Indonesia dalam gugatan larangan ekspor nikel oleh Uni Eropa (UE) ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Sampai di lubang jarum pun kami akan hadapi dan kami harus berdaulat dan hilirisasi adalah harga mati untuk kita lakukan dalam rangka memberikan nilai tambah," ujar Bahlil dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Rabu (14/12).
Menurutnya, Indonesia sudah merdeka dan tidak boleh ada negara lain yang mengintervensi. Sebab itu, hilirisasi pengolahan nikel harus terus berjalan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun telah memerintahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif untuk mengajukan banding atas kekalahan di WTO itu.
Jokowi mengatakan Indonesia harus berhenti mengekspor bahan mentah demi mendapatkan nilai tambah. Ia mencontohkan kebijakan larangan ekspor nikel yang membuat Indonesia mengantongi Rp300 triliun per tahun. Padahal Indonesia sebelumnya hanya meraup Rp20 triliun saat mengekspor bahan mentah nikel.
Atas dasar itu, Jokowi menegaskan Indonesia tidak akan mundur dalam menghadapi gugatan soal larangan ekspor nikel. Ia mengatakan langkah itu dilakukan karena Indonesia ingin menjadi negara maju.
Kendati demikian, Jokowi memahami alasan UE mengajukan gugatan. Hal ini karena banyak industri nikel yang ada di UE, sehingga jika larangan dilakukan bisa mengganggu industri tersebut.
"Kalau dikerjain di sini (pengolahan nikel), artinya di sana akan ada pengangguran, di sana akan ada pabrik yang tutup, di sana akan ada industri yang tutup. Tapi kan kita juga mau maju, kita ingin menjadi negara maju," ujar Jokowi.
Sebelumnya, Indonesia dinyatakan kalah dari UE terkait sengketa gugatan larangan ekspor nikel. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan alasan Indonesia dari gugatan tersebut, karena terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994, dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
"Memutuskan bahwa kebijakan larangan ekspor dan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral (nikel) dalam negeri terbukti melanggar ketentuan WTO," kata Arifin.
Beberapa regulasi atau peraturan perundang-undangan Indonesia yang dinilai melanggar ketentuan WTO, antara lain UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Lalu, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.