Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea mengatakan serikat buruh dan pemerintah seharusnya bertemu untuk membahas usulan perbaikan draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) pada pekan pertama Januari 2023.
Namun, pertemuan itu tidak akan pernah terjadi. Sebab, tanpa tedeng aling-aling Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menerbitkan Perppu tersebut pada akhir Desember 2022.
Andi menjelaskan KSPSI bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) empat bulan lalu telah memberikan draf usulan kepada pemerintah terkait sektor ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. Adapun draf itu berupa kebijakan yang dirasa adil bagi para buruh dan pengusaha.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pada perjalanannya, di pekan pertama Januari seharusnya kami bertemu kembali (dengan pemerintah) untuk memfinalkan draft yang sudah ada. Ternyata Perppu yang keluar berbeda 99 persen dengan draf yang kami serahkan," ujar Andi dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (3/1).
Ia pun mengindikasikan draf itu berubah ketika masuk ke Kemenko Perekonomian. Pasalnya, ketika pihaknya mengonfirmasi kepada Kementerian Ketenagakerjaan, institusi itu tidak tahu-menahu isi Perppu Cipta Kerja sebelum diterbitkan.
Andi juga mengklaim penerbitan Perppu itu sangat terburu-buru dan tidak ada koordinasi. Tak hanya itu, ia juga menduga Jokowi tidak diberi tahu secara detail isi Perppu Cipta Kerja.
"Saya yakin betul presiden tidak mengetahui detail isi perppu, pasti. Presiden mungkin diberi tahu secara gambaran besar, tapi saya yakin presiden tidak diberi tahu secara detail," ujarnya.
Ia mengatakan serikat pekerja sebenarnya mendukung langkah penerbitan Perppu alih-alih kembali membahas isi UU Cipta Kerja dengan DPR. Pasalnya, jika dibahas dengan DPR rawan ketidaksesuaian dan memakan birokrasi panjang, terlebih sudah memasuki tahun politik.
Namun, kata Andi, serikat pekerja mengaku kaget dengan isi Perppu dan dengan tegas menolaknya.
KSPSI sendiri mengkritik empat poin penting dalam Perppu Cipta Kerja. Pertama, soal penetapan upah minimum yang ada di dalam Pasal 88D perppu Cipta kerja, disebutkan bahwa gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.
Gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Menurut Andi, kata 'dapat' menimbulkan celah di mana gubernur bisa saja tidak menetapkan kenaikan upah minimum.
Selain itu, formula kenaikan upah yang tercantum dalam Pasal 88D Perppu Cipta kerja disebutkan variabel perhitungan kenaikan upah berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indikator tertentu.
Sementara, tidak ada penjelasan soal indeks tertentu itu seperti siapa pihak yang menetapkan indikator tersebut maupun dasar kajiannya.
Kedua, pada pasal 64 sampai 66 soal pekerja alih daya atau outsourcing. Andi mengatakan dalam Perppu tersebut tidak dijelaskan secara detail jenis pekerjaan apa saja yang boleh dilakukan oleh pekerja alih daya.
Oleh karena itu, KSPSI meminta pemerintah agar mengembalikan aturan pekerja alih daya ke UU Ketenagakerjaan yang membatasi lima jenis pekerjaan, yakni sopir, petugas kebersihan, security, catering, dan jasa migas pertambangan.
Ketiga, penghapusan cuti panjang bagi pekerja. Keempat, soal besaran pesangon yang diterima pekerja Perppu Cipta Kerja, tidak ada bedanya dengan UU Cipta Kerja.
Andi menambahkan pemerintah bisa memperbaiki isi perppu melalui aturan turunan berupa peraturan pemerintah (PP). Oleh karena itu, ia berharap kelak PP itu bisa menjelaskan secara rinci terkait aturan Cipta Kerja dan bisa adil terhadap buruh.