Ekonom Senior INDEF Faisal Basri menilai industri Indonesia lebih mengandalkan otot, bukan otak. Bahkan, sumbangan 'otak' untuk perekonomian Indonesia minus.
Faisal menyebut sumbangan otak yang dimaksud terlihat dari total factor productivity (TFP). TFP dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni teknologi dan inovasi, kondisi pasar dan ekonomi, serta kebudayaan dan masyarakat.
"Indonesia hampir tiga perempat pertumbuhannya disumbang oleh modal fisik, yaitu infrastruktur. Itu fisik yang kelihatan. Kalau modal otak kan nggak keliatan. Kita lihat sumbangan otak minus di pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2000-2020," ungkap Faisal dalam Catatan Awal Ekonomi 2023 INDEF, Kamis (5/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengutip data dari Asian Productivity Organization (APO) 2022. Data TFP Indonesia dilaporkan minus 19 persen secara rata-rata dalam rentang waktu 2000-2020. Sementara, minus otak paling besar untuk pertumbuhan ekonomi dirasakan Brunei Darussalam sebesar 261 persen.
Selain Indonesia dan Brunai, sumbangan TFP yang minus untuk perekonomian dialami Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam, Bhutan, dan Fiji.
Lebih lanjut, Faisal mengatakan pertumbuhan industri Indonesia praktis selalu lebih rendah dari produk domestik bruto (PDB).
Faisal melihat ada semacam gejala dini deindustrialisasi di mana sektor industri manufaktur Indonesia mengalami perlambatan sebelum waktunya atau sebelum mencapai titik optimal.
Ia mengingatkan jika industri manufaktur lemah maka produk yang bisa diekspor menjadi terbatas. Melemahnya kinerja industri manufaktur membuat Indonesia semakin bergantung pada ekspor komoditas yang lebih banyak memakai pekerja kasar dibanding tenaga ahli. Misalnya mengandalkan ekspor sawit dan batu bara.
"Jadi kita harus semakin terus bergantung pada ekspor komoditas yang hanya membutuhkan upaya otot, tenaga, keringat. Kurang pakai otak juga ndak apa-apa karena tinggal petik, jual. Keruk batu bara, jual. Tebang pohon, jual," ucapnya.
(skt/pta)