Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut ketiadaan satu penjual dominan atau fragmentasi pasar, dapat merugikan ekonomi global hingga 7 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB).
Kondisi lebih parah dapat menimpa beberapa negara yang ada disintegrasi antara perdagangan dan teknologi, dengan kerugian mencapai 8 persen-12 persen.
Dalam laporan Minggu lalu (15/1), IMF mencatat secara global arus barang dan modal telah melandai pasca-krisis 2008-2009, serta lonjakan pembatasan perdagangan terlihat di tahun-tahun berikutnya. Ini diperparah dengan pandemi covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pandemi covid-19 dan invasi Rusia ke Ukraina semakin menguji hubungan internasional dan meningkatkan skeptisisme tentang manfaat globalisasi," kata laporan IMF, dikutip dari Reuters, Senin (16/1).
Dalam laporannya, IMF menyebut kerja sama dagang telah memangkas kemiskinan global selama bertahun-tahun, sekaligus menguntungkan konsumen berpenghasilan rendah di negara maju melalui harga yang lebih rendah.
"Pembatasan hubungan perdagangan akan berdampak paling buruk bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan konsumen yang kurang mampu di ekonomi maju," tulis IMF.
Lalu, pembatasan migrasi lintas negara juga menghilangkan pekerja terampil di negara tujuan, sekaligus mengurangi pengiriman uang ke negara asal imigran.
Berkurangnya arus modal akan mengurangi investasi asing langsung, sementara penurunan kerja sama internasional akan menimbulkan risiko terhadap ketersediaan barang-barang kebutuhan yang vital.
Hal ini membuat ekonomi negara berkembang dan negara berpenghasilan rendah cenderung paling berisiko terdampak karena ekonomi global bergeser ke lebih banyak regionalisasi keuangan, serta sistem pembayaran global yang terfragmentasi.
"Dengan pembagian risiko internasional yang lebih sedikit, (fragmentasi ekonomi global) dapat menyebabkan volatilitas ekonomi makro yang lebih tinggi, krisis yang lebih parah, dan tekanan yang lebih besar pada penyangga nasional," kata IMF.
Kondisi tersebut juga dapat melemahkan kemampuan komunitas global untuk mendukung negara-negara yang mengalami krisis dan mempersulit penyelesaian krisis utang negara di masa depan.
(fby/pta)